Sesungguhnya zhihar dianggap sah bila dilakukan oleh orang yang sah menjatuhkan talaknya.
Zhihar di masa jahiliah dianggap sebagai suatu talak yang tidak boleh ada perujukan sesudahnya (yakni berpisah untuk selama-lamanya, tidak boleh kawin lagi dengan wanita yang bersangkutan).
Menurut istlah bahasa kata zhihar diambil dari kata zhahrun, artinya “menunggangi”, karena di dalamnya terkandung pengertian “sesuatu menunggangi sesuatu yang lain.”
Sedangkan menurut istilah syara’ artinya “menyerupakan istri yang tidak tertalak secara ba’in dengan wanita yang tidak halal (masih mahram) bagi lelaki yang bersangkutan.
Menyerupakan istri dengan punggung ibu suami
Para ulama memakai istilah zhihar yang diambil dari asal kata zhahrun (punggung), bukan memakai istilah al-bithaan yang diambil dari asal kata bathnun (perut) umpamanya, padahal kasus ini dapat saja dinamakan demikian. Hal tersebut tiada lain karena istilah zhihar telah populer di masa jahiliah. Seseorang dari kalangan mereka mengatakan kepada istrinya, “Engkau bagiku sama dengan punggung ibuku.”
Mereka mengkhususkan istilah ini dengan sebutan zhahr (punggung) karena punggung adalah tempat untuk dinaiki, sedangkan wanita adalah tunggangan suaminya. Untuk itu, dalam ucapan mereka, “Engkau bagiku sama dengan punggung ibuku” terkandung kata kinayah talwihiyyah (kata sindiran) yang mengandung pengertian menunggangi. Seakan-akan si suami mengatakan dalam ungkapan jelasnya, “Engkau tidak boleh kunaiki, sama halnya dengan ibuku.”
Dalil mengenai zhihar dalam Al Qur’an
Dalil asal mengenai zhihar ini sebelum ijma’ adalah firman Allah dalam surat Al Mujadilah ayat 3:
Orang-orang yang men-zhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri bercampur.
Riwayat Khaulah binti Hakim yang telah di zhihar oleh suaminya
Latar belakang turunnya ayat tersebut ialah bahwa Aus ibnu Shamit men-zhihar istrinya, Khaulah binti Hakim, sedangkan Aus ketika itu telah buta matanya.
Kemudian Khaulah bertanya kepada Nabi saw mengenai hal tersebut, maka beliau bersabda, “Engkau menjadi haram atas dirinya.” Khaulah berkata, “Wahai Rasulullah, coba pertimbangkan urusanku dengannya. Sesungguhnya aku tidak tega meninggalkannya, dan aku mempunyai banyak anak yang masih kecil darinya. Jika aku serahkan mereka kepadanya, niscaya mereka akan terlantar, dan jika mereka diserahkan kepadaku, niscaya mereka akan kelaparan.”
Nabi saw bersabda kepadanya, “Engkau telah haram atas dirinya.” Nabi saw mengulang-ulang jawabannya sebagaimana Khaulah pu mengulang-ulang pertanyaannya sebanyak 3 kali.
Ketika Khaulah merasa putus harapan dari jawaban Nabi saw, maka ia mengadu kepada Allah swt akan nasibnya yang kini menjadi sebatang kara dan juga dalam keadaan miskin (karena telah dipisahkan dari suami), maka Allah menurunkan firman-Nya, yaitu surat Al Mujadilah ayat 1:
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah…
Di masa pemerintahan Khalifah Umar, Khaulah pernah bersua dengannya, lalu menghentikannya dan menasihatinya dalam waktu yang cukup lama. Khaulah mengatakan kepadanya, “Hai Umar, dahulu kamu dipanggil Umair (Umar kecil). Sekarang kamu dipanggil Amirul Mukminin. Bertakwalah kepada Allah, hai Umar. Karena sesungguhnya orang yang merasa yakin akan mati, niscaya dia takut ketinggalan (untuk tidak beramal kebaikan); dan barang siapa yang merasa yakin akan mengalami hisab, niscayya dia takut akan azab.”
Sedangkan Umar r.a. dalam keadaan berdiri mendengar nasihatnya dalam waktu yang cukup lama. Lalu ditanyakan kepadanya (Umar), “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau berdiri sedemikian lama mendengarkan nenek-nenek ini?” Umar menjawab, “Demi Allah, seandainya nenek ini menahanku dari permulaan siang hari sampai akhir siang hari, niscaya aku tetap mendengrnya kecuali untuk melakukan salat fardu. Tahukah kalian siapakan nenek ini? Dialah wanita yang didengar ucapannya oleh Allah swt, dari balik tujuh lapis langit. Apabila Allah, Tuhan semesta alam, mendengarkan perkataannya, mengapa Umar tidak mau mendengarkannya?’
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani