Orang yang mengawinkan budak perempuan seorang wanita (merdeka) yang balig, yakni telah dewasa, adalah wali tuannya, hanya dengan seizin tuannya semata, karena budak wanita itu adalah miliknya.
Dalam masalah ini izin dari budak perempuan tidak dianggap, mengingat tuan wanitanya mempunyai hak ijbar (memaksa) terhadapnya untuk kawin.
Disyaratkan, hendaknya izin dari tuan wanita diutarakan secara lisan, sekalipun budak perempuan yang akan dikawinkan masih perawan.
Yang berhak mengawinkan budak yang belum balig dan masih perawan
Orang yang boleh mengawinkan budak perempuan milik anak perempuan yang belum balig lagi masih perawan atau anak laki-laki yang belum balig adalah ayahnya, kemudian kakeknya; bila ia memetik keuntungan dari hal tersebut, umpamanya untuk memperoleh maskawin atau nafkah.
Tetapi seorang ayah (atau kakek) tidak boleh mengawinkan budak laki-laki milik keduanya, karena berakibat tidak dapat berusaha lagi untuk kepentingan keduanya. Lain halnya dengan Imam Malik yang berpendapat berbeda, yaitu jika ternyata kepentingan masih dapat dipertahankan.
Juga tidak boleh mengawinkan budak perempuan milik anak perempuan yang telah janda tetapi belum balig, karena si ayah tidak berhak menjadi wali nikah budak yang dimilikinya.
Kadi tidak boleh mengawinkan budak perempuan yang tuannya sedang tidak ada
Kadi tidak boleh mengawinkan budak perempuan milik seseorang yang sedang tidak ada di tempat kediamannya, sekalipun budak perempuan yang bersangkutan sangat memerlukan nikah dan akan menjadi mudarat baginya karena tidak ada orang yang memberi nafkah kepadanya.
Memang dibenarkan jika si kadi memandang bahwa menjualnya adalah lebih maslahat, mengingat dengan menjual amat tersebut berarti lebih menguntungkan si pemilik daripada ia menanggung beban nafkah. Untuk itu, amat boleh dijual.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani