Tuan laki-laki diperbolehkan mengawinkan budak perempuan yang menjadi miliknya sepenuhnya, sekalipun si tuan adalah orang yang fasik. Tetapi tidak boleh jika budak perempuan itu dimiliki secara serikat dengan orang-orang lain karena budak perempuan tersebut adalah hasil dari ghanimah antara dia dengan sejumlah orang, kecuali dengan kerelaan semua teman serikatnya. Tanpa memandang apakah budak perempuan tersebut masih perawan serta belum balig, atau janda yang belum balig atau sudah dewasa, sekalipun perkawinan itu tanpa seizin dari budak perempuan yang bersangkutan.
Dikatakan demikian (tidak usah meminta izin) karena subjek dari nikah ialah menyangkut kemanfaatan al-budh’u (kemaluan), sedangkan diri budak wanita itu menjadi milik tuannya.
Tuan boleh memaksa budak perempuannya untuk kawin
Tuan budak perempuan boleh memaksa budaknya untuk kawin, tetapi tidak boleh menikahkannya dengan lelaki yang tidak seimbang karena faktor cacat yang mengakibatkan adanya khiyar, atau bersifat fasik, atau mempunyai pekerjaan yang rendah (hina), kecuali dengan seizin budak perempuannya.
Tuan budak perempuan boleh pula mengawinkan budaknya dengan budak laki-laki atau dengan lelaki yang keturunannya hina, mengingat budak perempuan itu sendiri tidak bernasab (nasabnya tidak diketahui).
Budak mukatab boleh mengawinkan budak perempuan miliknya
Seorang budak mukatab, bukan tuannya, diperbolehkan pula mengawinkan budak perempuan miliknya, dengan syarat bila tuannya mengizinkan dalam perkawinan itu.
Seandainya seorang budak perempuan meminta kepada tuannya untuk dikawinkan, maka permintaannya itu tidak harus dikabulkan, mengingat bila dia dikawinkan harganya menjadi turun (berkurang).
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani