‘Attiqah atau budak perempuan yang telah dimerdekakan oleh seorang wanita yang masih hidup dalam keadaan wali nasab si bekas budak/yang bersangkutan tidak ada, yang mengawinkannya adalah wali dari mu’tiqah (wanita yang memerdekakannya), karena mengikut kepada kekuasaan si wali atas mu’tiqah. Untuk itu orang yang mengawinkannya ialah ayah mu’tiqah, kemudian kakeknya, menurut urutan para wali nikah. Dia tidak boleh dikawinkan oleh anak lelaki mu’tiqah, selagi mu’tiqah masih hidup.
Tetapi perkawinan tersebut harus dengan seizin ‘atiqah (si bekas budak) sendiri, sekalipun mu’tiqah (wanita yang memerdekakannya) tidak setuju, karena dia tidak mempunyai kekuasaan terhadapnya.
Apabila mu’tiqah telah meninggal dunia, barulah ‘atiqah (si bekas budak) dapat dikawinkan oleh anak laki-laki mu’tiqah.
Berpegang kepada berita orang adil mengenai perceraian dan kematian
Orang yang mendapat berita dari seorang adil mengenai perceraian si Fulan atau meninggalnya atau perwakilannya, diperbolehkan berbuat berdasarkan berita itu dalam hubungannya dengan hal-hal yang menyangkut dirinya. Demikian pula halnya pernyataan tertulis seseorang yang adil telah dikenal tulisannya oleh orang yang bersangkutan.
Kaitannya dengan hak orang lain atau hal-hal yang berhubungan dengan hakim, berpegang kepada orang yan adil tidak diperbolehkan, dan tidak boleh pula berpegang pada pernyataan tertulis si kadi, yang masing-masing tidak ditunjang oleh hujjah syar’iyyah (yakni dua orang saksi laki-laki).
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani