Tidak sah bermakmum kepada imam yang diyakini batal salatnya, karena mengerjakan pekerjaan yang membatalkan salat menurut keyakinan makmum, misalnya pengikut mazhab Syafii bermakmum kepada pengikut mazhab hanafi yang telah memegang farjinya. Berbeda kalau hanya berbekam, hal ini dilihat dari sisi itikad makmum, karena imam itu menurut makmum berhadas lantaran memegang farjinya, namun tidak batal lantaran ia membekamnya.
Maka menghubungkan salat makmum dengan salat imam, termasuk udzur, sebab imam itu menurut makmum tidak dalam keadaan salat.
Apabila pengikut mazhab Syafii meragukan amalan (pekerjaan) yang diikhtilafkan dengan yang mewajibkan menurut makmum, hal itu tidak berpengaruh terhadap sahnya makmum, sebab berbaik sangka kepada imam untuk menjaga perbedaan. Misalnya pengikut mazhab Syafii bermakmum kepada pengikut mazhab lain yang beranggapan bahwa membaca Bismillah dipelankan, maka sah bermakmum padanya. Kecuali kalau beranggapan bahwa Bismillah itu tidka termasuk Fatihah, sehinggga imam itu tidak membacanya, maka tidak sah bermakmum padanya).
Tidak mudarat bermakmum kepada imam yang tidak berkeyakinan bahwa (membaca Bismillah) termasuk wajib (melainkan sunat saja, tetapi ia membacanya).
Apabila imam berdiri karena rakaat tambahan, misalnya rakaat kelima, walaupun lupa, maka makmum tidak boleh mengikutinya, walaupun makmum itu masbuq atau meragukan bilangan rakaatnya. Akan tetapi, makmum itu hendaknya mufaraqah saja (berniat memisahkan diri dari imam itu), lalu bersalam atau ia menunggu imamnya bersalam. Demikianlha, menurut kaul yang mu’tamad.