Tertib dalam shalat

Tertib merupakan salah satu dari rukun shalat. Yang dimaksud tertib adalah mendahulukan yang harus didahulukan, serta mengakhirkan yang harus diakhirkan. Kalau sengaja mengubah tertib dengan mendahulukan rukun fi’ly, misalnya sujud sebelum rukuk, maka shalatnya batal.

Adapun mendahulukan rukun qauly (mendahulukan rukun qauly daripada rukun fi’ly, misalnya mendahulukan tasyahud sebelum sujud, atau qauly pada qauly lagi, misalnya mendahulukan membaca shalawat sebelum tasyahud), tidaklah batal shalatnya, (hanya perbuatan itu tidak diperhitungkan, sehingga wajib dikerjakan lagi pada waktu yang seharusnya mengerjakannya); kecuali mendahulukan membaca salam (hal ini jelas membatalkan shalat).

Tertib (pula bagi) pekerjaan sunat, mislanya membaca surat sesudah Fatihah, membaca doa sesudah tasyahud dan shalawat. Hal iru merupakan syarat diperhitungkannya pegerjaan sunat.

Selain makmum (yaitu imam atau munfarid) apabila tidak tertib dengan meninggalkan satu rukun karena lupa, misalnya sujud sebelum rukuk atau rukuk sebelum membaca Fatihah, maka sia-sialah semua yang ia kerjakan, sehingga ia harus mengulang (mengerjakan) lagi semua yang ditinggalkan atau yang terlewat. Jika ia ingat sebelum sampai pada pekerjaan yang serupa (misalnya lupa tidak rukuk, lalu ia ingat sebelum rukuk rakaat yang selanjutnya), maka ia wajib rukuk kembali.

Atau ia (selain makmum) ragu mengenai rukun, apakah sudah mengerjakannya atau belum, umpamanya ketika rukuk ia ragu apakah sudah membaca Fatihah atau belum. Atau ketika sujud, apakah sudah rukuk atau i’tidal. Maka ia wajib segera mengerjakan yang diragukan itu, jika keraguannya timbul sebelum mengerjakan pekerjaan yang sama, yakni sama dengan yang diragukan dari rakaat yang lainnya (misalnya ragu mengenai rukuk pada rakaat pertama, sedangkan dia ingat ketika rukuk pada rakaat kedua).

Jika tidak ingat hingga mengerjakan pekerjaan yang sama pada rakaat yang berikutnya, maka cukup dari pekerjaan yang ditinggalkan itu (tidak perlu diulangi lagi, sebab bentuknya sama), tetapi sia-sialah (tidak diperhitungkan) pekerjaan antara yang diragukan dengan waktu ia ingat. Semuanya itu kalau ia mengetahui jenis pekerjaan yang ditinggalkan dan tempatnya.

Jika tidak ingat akan pekerjaan yang ditinggalkannya (apakah rukuk, i’tidal, atau yang lainnya), tetapi kemungkinan yang diragukan itu adalah niat shalat atau takbiratul ihram, maka shalatnya batal. Dalam masalah ini tidak disyaratkan harus lama tempo pemisahnya dan tiak lewat satu rukun. Atau yang diragukannya adalah membaca salam, maka salamlah ketika itu, walaupun sudah lama terpisah antara shalat dengan waktu ingatnya, menurut kaul aujah.

Atau yang diragukan itu bukan niat, takbiratul ihram, dan salam. Maka ambillah yang lebih ihtiyath (hati-hati), lalu lanjutkan pekerjaan shalatnya dan susullah pekerjaan shalat yang belum selesai. Memang demikian, bila yang diragukan itu tidak ada persamaannya, misalnya sujud tilawah, maka tidak mencukupi (tidak perlu diulangi, sudah saja ditinggalkan. Atau kalau yang diragukan itu sujud akhir, lalu teringat pada waktu sujud tilawat, maka berdiri dahulu dan sujud diulang kembali).

Makmum yang sebelum rukuk mengetahui atau ragu bahwa ia belum membaca Fatihah, tetapi imam sudah rukuk, maka bacalah Fatihah dahulu, lalu menyusul imam (walaupun tertinggal tiga rukun, dimaafkan). Apabila baru teringat sesudah dia dan imam rukuk, maka tidak usah kembali berdiri untuk membaca Fatihah, melainkan terus mengikuti imam, kemudian menambah satu rakaat lagi sesudah salam imam.

Related Posts