Inilah Penjelasan Tentang Shalat Rawatib, Tarawih, Id dan Dhuha

Salat istisqa’ dan salat tarawih dan surat yang dibaca serta jumlah rakaatnya tarawih

Salat sunat istisqa (meminta hujan), dilaksanakan apabila sangat membutuhkan air karena kekeringan, airnya asin (sehingga tak dapat diminum), atau jumlahnya sedikit sehingga tidak mencukupi kebutuhan. Salat istisqa’ (dilakukan) seperti salat Id, tetapi khatib harus membaca istighfar sebagai pengganti takbir dalam khotbahnya dan menghadap ke kiblat ketika berdoa setelah permulaan khotbah kedua, berjalan kira-kira sepertiganya.

Salat sunat tarawih

Salat tarawih (menurut Umar bin Khatthab r.a.) adalah 20 rakaat dengan 10 kali salam, dilakukan pada bulan ramadhan, berdasarkan hadis, “Barang siapa salat pada bulan ramadan dengan penuh keimanan dan keikhlasan (karena Allah), diampuni dosanya yang telah lewat.”

Wajib salam pada setiap dua rakaat. Salat tarawih empat rakaat dengan sekali salam, tidak sah. Lain halnya dengan salat sunat Lohor, Asar, dhuha, maupun witir.

Berniat salat tarawih atau salat malam ramadhan, dan mengerjakan pada awal waktunya (ba’da salat isya) lebih afdhal daripada mengerjakannya pada pertengahan waktu sesudah tidur. Berbeda dengan pandangan Hulaimi (yang berpendapat bahwa tengah malam itu lebih utama).

Disebut salat tarawih, karena beristirahat setelah lama berdiri (dengan khusyuk) seusai setiap dua kali salam. Adapun hikmahnya 20 rakaat, yaitu: sunat rawatib yang muakkad di luar ramadhan ada 10 rakaat, lalu pada bulan ramadhan dilipatgandakan sebab bulan ramadhan merupakan waktu yang penuh kesungguhan dan kesiapan mental.

Mengulang surat al Ikhlas tiga kali pada setiap rakaat akhir dari rakaat-rakaat tarawih adalah bid’ah tidak baik, sebab bertentangan dengan sunnah, sebagaimana fatwa Syaikhuna Ibnu Hajar al haitami (sedangkan yang warid adalah membaca seluruh Quran dengan juz-juz).

Keutamaan dan jumlah rakaat salat tahajud serta sunat mengqadha salat sunat rawatib, Id dan dhuha

Disunatkan tahajud secara ijma’, yaitu salat sunat malam sesudah tidur. Allah swt berfirman dalam surat al Isra ayat 79, “Salat tahajudlah kamu pada sebagian malam, sebagai ibadah tambahan bagimu.”

Banyak hadis yang menerangkan keutamaannya. Makruh bagi orang terbiasa tahajud lalu meninggalkannya tanpa darurat. Tidak melewatkan malam untuk salat sesudah tidur (maksudnya, mengerjakan salat tahajud) adalah sunat muakkad, walaupun hanya 2 rakaat, mengingat fadhilah salat itu besar sekali.

Tidak ada batas mengenai ketentuan jumlah rakaatnya. Menurut suatu kaul batasnya adalah 12 rakaat. Sunat memperbanyak doa pada malam itu, dan istighfar pada pertengahan malam yang akhir lebih muakkad, namun yang paling afdhal ketika waktu sahur, berdasarkan sirman Allah sawt dalam surat Adz Dzaariyaat ayat 18, “Pada waktu sahur mereka memohon ampunan.” Sunat membangunkan orang yang bermaksud melaksanakan salat tahajud.

Sunat mengqadha salat sunat yang berwaktu misalnya salat Id, rawatib, dan dhuha. Tidak disunatkan meng qadha salat yang bersebab, misalnya salat gerhana, tahiyyatul masjid, dan sunat wudhu.

Barang siapa yang meninggalkan wirid setelah salat sunat mutlak, disunatkan mengqadhanya. Begitu juga mengqadha wirid selain salat. Tidak ada ketentuan bagi salat sunat mutlak, namun boleh mempersingkat 1 rakaat dengan sekali tasyahud dan satu salam, tidak makruh.

Bila berniat lebih dari satu rakaat, ia harus tasyahud setiap dua rakaat, tiga rakaat, dan empat rakaat, atau lebih dari itu. Jika berniat bilangan tertentu, ia boleh menambah atau mengurangi; yang demikian itu harus diniatkan sebelumnya. Kalau tidak diniatkan sebelumnya, maka salatnya batal.

Apabila berniat dua rakaat, lalu berdiri ke rakaat ketiga karena lupa, kemudian teringat (bahwa hanya berniat 2 rakaat), maka ia wajib duduk. Apabila ia bermaksud menambah 2 rakaat, lalu berdiri lagi, kemudian sujud sahwi pada akhir salatnya. Jika tidak bermaksud menambah rakaat, duduk saja, tasyahud dan sujud sahwi, lantas salam.

Melamakan berdiri ketika shalat lebih utama daripada memperbanyak rakaat serta shalat sunat yang paling afdhal

Orang yang salat sunat siang atau malam disunatkan bersalam pada setiap 2 rakaat, sebab ada hadis muttafaq ‘alaih yang menyatakan, “Salat malam itu dua rakaat-dua rakaat”, dalam riwayat yang lain dinyatakan, “Begitu juga salat siang.”

Menurut Imam Nawawi bahwa melamakan berdiri lebih utama daripada memperbanyak rakaat.

Imam Nawawi mengatakan bahwa salat sunat yang paling afdhal adalah Idul Akbar (Idul Adha), lalu Idul Ashgar (Idul Fitri), gerhana matahari, gerhana bulan, istisqa, witir, dua rakaat salat sunat fajar, semua sunat rawatib yang semuanya sederajat. Tarawih, dhuha, sunat thawaf dua rakaat, tahiyyatul masjid, sunat ihram, lalu salat sunat wudu.

Macam-macam Bid’ah

Salat sunat pada malam raghaib (yaitu salat sunat 12 rakaat di antara magrib dan isya pada malam pertama jumat bulan rajab), salat nisfu sya’ban, dan salat sunat pada hari Asyura, adalah bid’ah qabihah, karena hadis-hadis yang menerangkannya termasuk hadis maudhu.’

Syaikhuna Ibnu Hajar, sebagaimana Ibnu Syuhbah dan yang lainnya menyatakan, bahwa amalan yang lebih jelek daripada itu ialah amalan yang menjadi adat sebagian daerah (negara), yaitu salat lima kali pada hari jumat terakhir dari bulan ramadhan sesudah salat jumat seraya berprasangka, bahwa salat tersebut menghapuskan salat-salat satu tahun atau seumur hidupnya yang tertinggal. Yang demikian itu, haram.

Menurut Imam Abu Muhammad bin Abdus Salam menjelaskan dalam kitabnya Al Adzkar, bahwa bid’ah itu terbagi ke dalam 5 macam, yaitu: wajib, makruh, haram, mustahab, dan mubah.

  1. Bid’ah yag mubah, diantaranya ialah bersalaman sesudah salat subuh dan asar.
  2. Bid’ah yang wajib adalah menulis Al Quran dan ilmu syara’ yang dikhawatirkan tersia-sia.
  3. Bid’ah yang diharamkan adalah perbuatan zalim.
  4. Bid’ah yang makruh adalah menghiasi masjid, mengkhususkan malam jumat untuk beramal selain sunnah Rasulullah saw.
  5. Bid’ah yang mustahab (dicintai) ialah salat tarawih degan berjamaah, mendirikan pondok pesantren, membangun madrasah, dan setiap perbuatan yang baik yang tidak ada pada zaman Nabi saw.

Nabi saw bersabda, “Barang siapa yang menimbulkan bid’ah di dalam agama kita (islam) ini, sedangkan ia bukan termasuk darinya, maka ditolak (tidak diterima)”

Menurut Imam Syafii, “Perbuatan baru yang menyalahi Quran, sunnah, ijma’, atau atsar sahabat, itulah bid’ah dhalalah. Adapun perbuatan baru yang baik, yang tidak menyalahi sesuatu dari Quran dan sunnah, itulah bid’ah yang dipuji.”

Related Posts