Mengerjakan shalat sunat di rumah lebih utama (daripada di masjid) kecuali bagi orang yang i’tikaf, sekira tidak khawatir kehabisan waktu atau tidak terlalaikan atau terlupakan, kecuali salat sunat seseorang yang pergi ke masjid pagi-pagi untuk shalat jumat, salat yang disunatkan berjamaah (misalnya tarawih dan sebagainya), atau salat yang warid dari Nabi saw dikerjakan di masjid, misalnya shalat dhuha.
Makmum disunatkan berpindah tempat sesudah imamnya pindah, sabda Nabi saw, “Hai manusia, salatlah di rumah-rumahmu!sesungguhnya salat yang utama ialah salat seseorang di rumahnya, kecuali salah fardu.”
Orang yang mengerjakan shalat disunatkan menghadap ke sejenis dinding atau tiang, yaitu dari setiap barang yang tingginya 2/3 hasta atau lebih, dan jarak antara barang dengan tumit orang yang shalat adalah 3 hasta atau kurang sedikit. apabila tidak bisa demikian, maka dengan sejenis tongkat yang ditancapkan seperti (tumpukan) barang. Kalaupun tidak mendapatkan barang semacam tersebut, sunat menghamparkan sajadah sebagai tempat shalat.
Kemudian jika tidak mendapatkan semua itu, buatlah garis di depannya seukuran 3 hasa, melebar atau memanjang (1 hasta = 46, 2 cm); itulah yang lebih utama, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, “Apabila seseorang di antara kamu shalat, maka letakkanlah sesuatu di depannya. Kalau tidak mendapatkan, maka tancapkanlah tongkat. Kalau tidak ada tongkat, buatlah garis, kemudian tidak akan mudarat semua yang lewat di depannya.”
Di qiyaskan pada garis ialah tempat shalat (sajadah). Membuat garis harus didahulukan, sebab tempat shalat itu lebih jelas tujuannya dan tertib. Yang disebutkan tadi adalah yang mu’tamad. Berbeda dengan pendapat Syeikh Ibnu Muqri yang mempunyai anggapan (tidak unat memelihara tertib tersebut).