Sayyidina Umar berkata, “Ketika Nabi saw mengangkat kedua tangannya kala berdoa, beliau tidak mengembalikannya sehingga mengusapkan mukanya lebih dahulu dengan kedua tangannya itu.” (Riwayat Abu Daud dan Turmudzi)
Apabila dalam keadaan genting, Nabi saw berdoa sambil mengangkat kedua tangannya lebih tinggi daripada meluruskannya dengan pundaknya, seperti ketika beliau berdoa pada waktu istisqa’, sampai terlihat ketiaknya. (Riwayat Muslim)
Hikmah mengangkat tangan adalah, bagian atas itu merupakan kiblatnya doa, tempat turunnya rezeki, tempat turun wahyu, tempat rahmat dan keberkahan Allah.
Berpalingnya imam (dari tempat shalatnya) tidak menggugurkan sunat zikir sesudah shalat, karena ia dapat mengerjakan zikir pada tempat yang dipindahi itu. Tidak gugur sunat zikir itu dengan mengerjakan sunat rawatib. Sesungguhnya yang gugur karena mengerjakan shalat sunat rawatib itu hanyalah keutamaan zikirnya.
Perkataan ulama itu bertujuan bahwa pahala zikir bisa diperoleh walaupun tidak memahami maknanya. Imam Asnawi menanggapi pendapat tersebut, bahwa hal itu tidak dapat disamakan dengan membaca Quran karena lafaznya dimaksudkan untuk ibadah. Oleh karena itu, pembacanya mendapat pahala meskipun tidak mengerti maknanya. Berbeda dengan zikir, harus mengerti maknanya, walaupun hanya garis besarnya (seperti Alhamdulillah, untuk memuji, dan yang lainnya).
Ketika shalat fardu atau sunat, disunatkan berpindah tempat dari suatu tempat shalat ke tempat lainnya, supaya tempat-tempat itu menjadi saksi baginya di akhirat nanti, sekira tidak bertentangan dengan keutamaan, misalnya di barisan pertama (kalau berpindah tempat ke baris belakangnya, maka tidak suant perpindahannya). Kalau tidak pindah, maka pisahlah dengan berbicara kepada orang lain (bukan soal ibadah wirid, sebab Nabi saw melarang menyambung satu macam shalat dengan shalat lain kecuali sesudah berbicara atau keluar) (Riwayat Muslim)