Yang pertama adalah memuji ke hadirat Allah swt. Kedua, membaca shalawat kepada Nabi saw dengan lafaz masing-masing (tertentu), yaitu: hamdalah dan shalawat kepada Rasulullah saw. Contoh hamdalah misalnya Alhamdulillah atau Ahmadullah.
Tidak cukup dengan Asysyukru Lillaah atau Atstsanaau Lillaah, serta dengan Alhamdu Lirrahmaan atau Liraahiim.
Adapun ucapan shalawat misalnya Allaahuma shalli, shallallaahu, ushalli ‘alaa Muhammadin, Ahmad, Arrasuuli, Annabiyyi, Alhaasyiri, atau seumpamanya (dari nama-nama Nabi Muhammad saw).
Tidak cukup dengan Allaahumma sallim ‘alaa Muhammadin, warham Muhammadin serta Shallallaahu ‘alaihi dengan dhamir (‘alaihi), walaupun dhamir itu kembali pada ucapan yang telah disebutkan sebelumnya, sebagaimana penjelasan ulama ahli tahqiq. Al Kamal Addamiri berkata, “Sesungguhnya banyak para khatib yang melupakan lafaz tersebut.”
Oleh sebab itu, janganlah engkau terbujuk dengan apa yang ditulis pada sebagian khotbah orang-orang nabatiyah yang menyalahi pendapat ulama ahli tahqiq muta-akhkhir (yang mencukupkan dengan dhamir).
Rukun khotbah yang ketiga adalah wasiat dengan taqwallaah. Tidak ada ketentuan lafaz takwa itu serta panjangnya, bahkan cukup misalnya dengan kalimat “Taatlah kamu sekalian kepada Allah” dengan lafaz yang mendorong taat kepada Allah, atau mencegah berbuat maksiat kepada-Nya, sebab wasiat dengan takwa itulah yang dimaksud dengan khotbah.
Tidak cukup hanya denganmenakut-nakuti bahwa dunia penuh dengan tipu muslihat, mengingatkan mati serta kengerian dan penderitaan yang akan dialaminya.
Ibnu Rif’ah berkata, “Wasiat itu cukup dengan lafaz yang mengandung erintah untuk bersiap-siap menghadapi mati.” disyaratkan agar ketiga rukun khotbah disampaikan pada dua khotbah, yakni pada masing-masing khotbah dari dua kali khotbah itu.
Khatib disunatkan menertibkan ketiga rukun khutbah tersebut, dan lafaz yang sesudahnya; pertama dengan membaca hamdalah, salawat, wasiat, membaca Quran dan berdoa.
Rukun khutbah yang keempat adalah membaca ayat Quran yang memberikan pengertian yang lengkap pada salah satunya, dan diucapkan pada khotbah yang pertama termasuk afdhal. Setelah selesai khotbah disunatkan membaca surat Qaaf atau sebagiannya pada setiap jumat, sebab ittiba’ kepada Rasul saw (karena surat Qaaf mengandung nasihat, dan petunjuk yang baik-baik).
Rukun khotbah yang kelima adalah membaca doa untuk kepentingan akhirat bagi kaum mukminin, walaupun tidak menyebutkan untuk mukminat (sudah tercakup oleh mukminin). Berbeda dengan paham Adzra’i, walaupun dengan ucapan Rahimakumullah (semoga Allah memberikan belas kasih kepada kamu sekalian). Demikian pula cukup misalnya dengan Allaahumma ajirnaa minannaar (Ya Allah, selamatkanlah kami dari api neraka), bila bermaksud mengkhususkan kepada hadirin pada khotbah yang kedua, sebab mengikuti jejak ulama salaf dan khalaf.
Adapun mendoakan pemerintah dengan mengkhususkan kepada seseorang, tidaklah disunatkan, sesuai dengan kesepakatan para ulama, kecuali takut fitnah maka wajib mendoakannya. Kalau tidak ada fitnah, tidak apa-apa sekira tidak berlebihan menerangkan sifat-sifatnya. Tidak boleh menerangkan sifatnya dengan sifat yang palsu, kecuali karena darurat (adapun mendoakan pemimpin muslimin dan pemerintahannya secara umum, tidak khusus kepada seseorang, adalah sunat).
Disunatkan secara pasti berdoa untuk para pemimpin sahabat Nabi saw (misalnya Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan sebagainya). demikian pula berdoa untuk para pemimpin muslimin dan bala tentaranya dengan kemaslahatan, pertolongan Allah, dan memegang teguh keadilan.. sebagaimana sabda Nabi saw, “Janganlah kamu sekalian mengacaukan hatimu dengan memaki-maki para raja (pembesar), melainkan mendekatlah kamu sekalian kepada Allah swt dengan berdoa untuk mereka, tentu Allah menghaluskan hati mereka atau kamu sekalian.” (Riwayat Bukhari dari Siti Aisyah r.a)
Hasan Bashri (pembesar tabiin) berkata, “Apabila kamu mengetahui doa yang diijabah, tentu aku mengkhususkannya kepada sultan (pemerintah), sebab kebaikan pemerintah itu untuk umum, sedangkan selainnya untuk khusus.
Menguraikan sifat-sifat pemerintah, tidak memutuskan muwalat, selama penguraiannya tidak dianggap berpaling dari khotbah. Pada pertengahan khotbah disyaratkan agar tidak memanjangkannya sehingga dapat memutuskan muwalat, sebagaimana yang dikerjakan oleh para khatib yang bodoh.
Kalau seseorang meragukan tertinggal fardu (rukun) khotbah sesudah khotbahnya selesai, maka hal itu tidak berpengaruh apa-apa, sebagaimana tidak berpengaruh apa-apa seandainya ragu meninggalkan fardu sesudah selesai salat atau wudu.