Inilah Macam-Macam Puasa Sunnah Dalam Agama Islam

Puasa sunah itu mempunyai banyak fadhilah dan pahala yang tidak terhitung, kecuali Allah swt (yang megetahuinya). Karena itu Allah swt menyandarkan puasa itu untuk diri-Nya, tidak seperti ibadah-ibadah lainnya.

Puasa sunat terbagi atas 3 macam:

  1. Berulang setiap tahun, misalnya puasa Arafah atau Asyura.
  2. Berulang setiap minggu, misalnya puasa senin dan kamis.
  3. Berulang setiap bulan, yaitu puasa tanggal 13, 14, dan 15.

Allah berfirman dalam hadis Qudsy, “Segala amal (perbuatan) anak Adam adalah untuk dirinya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku lah yang memberi pahalanya.”

Dalam hadis disebutkan, “Barang siapa yang berpuasa sehari karena Allah, maka Allah menjauhkan dirinya dari neraka selama 70 tahun.”

Sunat muakkad puasa pada hari Arafah (tanggal 9 Zulhijjah) bagi selain yang beribadah haji, karena sesungguhnya puasa Arafah itu dapat mengifarati dosa-dosa setahun sebelumnya (sebelum hari Arafah) dan tahun sesudahnya (sesudah hari Arafah), sebagaimana diterangkan dalam hadis Muslim.

Puasa Arafah dilakukan pada tanggal 9 zulhijjah. Untuk lebih berhati-hati, hendaklah puasa pada tanggal 8 serta pada hari Arafahnya.

Dosa yang dikifarati, ialah dosa-dosa kecil yang tidak berkaitan dengan hak Adamy (tidak bersangkutan dengan manusia), sebab dosa besar itu tidak dapat dikifarati kecuali dengan tobat yang sesungguhnya; dan hak Adamy tobatnya tawaqquf (ditangguhkan) kepada rida-Nya. Jika seseorang tidak mempunyai dosa kecil, maka akan ditambah amal baiknya.

Keutamaan atau riwayat tanggal 10 muharam (Asyura) & puasa tanggal 9 dan 10 muharam

Ditekankan berpuasa pada tanggal zulhijjah, sebab terdapat hadis sahih mengenai hal itu yang menunjukkan keutamaan tanggal 10 zulhijjah atas 10 hari akhir bulan ramadhan.

Puasa hari Asyura, yaitu tanggal 10 muharam, adalah sunat muakkad. Puasa pada hari itu dapat mengifarati dosa setahun yang lewat.

Juga puasa hari Tasu’a, yaitu tanggal 9 Muharam, berdasarkan hadis Muslim: Kalau aku masih hidup tahun depan, tentu aku puasa tanggal 9 muharam. Akan tetapi Nabi saw wafat sebelum tanggal tersebut.

Hikmah puasa pada hari tersebut ialah supaya berbeda dengan kebiasaan kaum Yahudi. Sebab, orang yang tidak puasa Tasu’a, disunatkan berpuasa pada tanggal 11 nya, sekalipun ia berpuasa pada tanggal 9 muharam, karena ada hadis mengenai hal itu. Di dalam kitab Al Um disebutkan “Tidak apa-apa bila melakukannya tanggal 10 saja.”

Perlu diketahui bahwa hari Asyura itu mengandung riwayat sebagai berikut:

  1. Allah menerima taubat Nabi Adam a.s.
  2. Diangkatnya Nabi Idris ke alam yang tinggi sampai sekarang.
  3. Dikeluarkannya Nabi nuh a.s. dan kaumnya dari perahu.
  4. Selamatnya Nabi Ibrahim dari api raja Namrud.
  5. Diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s.
  6. Dikeluarkannya Nabi Yusuf a.s. dari penjara.
  7. Disembuhkannya mata Nabi Ya’qub a.s. dari buta.
  8. Dihilangkannya musibah yang menimpa Nabi Ayyub a.s.
  9. Dikeluarkannya Nabi Yunus dari perut ikan hiu.
  10. Dipecahkannya laut merah untuk lewat kaum Bani Israil, umat Nabi Musa a.s.
  11. Diampuninya dosa Nabi Daud a.s.
  12. Diberikannya keraton Nabi Sulaiman a.s. oleh Allah swt.
  13. Dinyatakan-Nya pengampunan segala dosa Nabi Muhammad saw.
  14. Permulaan penciptaan alam dunia.
  15. Permulaan diturunkannya hujan dari langit.
  16. Permulaan diturunkannya rahmat Allah ke bumi.

Syeikh Ajhuri berkata, “Barang siapa pada hari Asyura membaca Hasbiyallaahu wani’mal wakiil, nimal maulaa wani’man nashiir sebanyak 70 kali, maka Allah swt akan mencukupkan (menjaga) kejelekan tahun itu darinya.”

Keutamaan puasa 6 hari bulan syawal, puasa senin kamis serta puasa tanggal 13,14, 15 tiap bulan

Puasa selama 6 hari pada bulan syawal adalah sunat muakkad, menurut hadis sahih. Sesungguhnya orang yang berpuasa pada hari-hari iru serta bulan ramadhan, seperti orang yang berpuasa setahun penuh. Disambungkan dengan hari raya (jadi dimulainya tanggal 2 syawal) lebih utama, sebab menyegerakan ibadah.

Sunat muakkad puasa pada malam terang, yaitu tanggal 13, 14, dan 15, karena perintah puasanya sah. Sesungguhnya tiga hari puasa itu seperti puasa sebulan, sebab setiap kebaikan dinilai epuluh kali lipat.

Rasulullah saw bersabda, “Bila kamu berpuasa dalam sebulan tiga hari, berpuasalah tanggal 13, 14, dan 15.”

Oleh sebab itu, mendapat pahala sunat beserta puasa tiga hari lainnya, tetapi tiga hari pada malam terang itu lebih utama. Menurut kaul yang lebih masyhur, tanggal 13 zulhijjah dapat diganti dengan tanggal 16 nya. Syeikh Jalal Bulquni berkata, “Tidak, bahkan gugur sunat puasanya (sebab bertepatan dengan hari tasyriq).”

Disunatkan puasa pada malam genap yaitu tanggal 28 dan dua hari berikutnya.

Sunat puasa hari senin dan kamis, berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa sesungguhnya Nabi saw sangat memperhatikan puasa dua hari itu. Sabdanya, “Pada 2 hari (senin dan kamis) itu diprlihatkan semua amal. Maka aku sangat mengharapkan diperlihatkan amalku di kala aku berpuasa.”

Yang dimaksud “diperlihatkan” ialah, ke hadirat Allah swt (secara ijmaly). Adapun para malaikat mengangkat amal-amal itu, ialah sekali pada malam hari dan sekali pada siang hari (dan keuda malaikat itu bertemu ketika waktu salat Asar dan waktu Subuh). Mengenai diangkatnya amal pada bulan sya’ban adalah di-mahmul-kan pada pengangkatan amal setahun secara keseluruhan (mujmal).

Puasa hari senin lebih afdhal daripada puasa hari kamis, karena ada kekhususan yang telah diterangkan oleh ulama akan hal itu. Anggapan Syeikh Hulaimi bahwa embiasakan puasa dua hari itu hukumnya makruh, adalah tidak benar (syadz).

Puasa Arafah dan keutamaan bulan setelah ramadhan

Segolongan ulama muta-akhkhiriin memberikan fatwa bahwa pahala puasa Arafah dan sesudahnya (yaitu Asyura dan Tasu’a) tetap berhasil dengan mengerjakan puasa fardu pada hari itu (seperti qadha ramadhan dan sebagainya).

Berbeda dengan pendapat kitab Majmu’ yang diikuti Syeikh Asnawi. Ia berkata, “Kalau berniat puasa Arafah dan qadha ramadhan (misalnya), baginya tidak berhasil sesuatu pun dari kedua puasa tersebut.”

Adapun pendapat yang berlaku bahwa sesungguhnya yang dimaksud adanya puasa pada hari itu, seperti salat sunat tahiyyatul masjid. Sesungguhnya berniat puasa sunat juga (di samping fardu), berhasil pahala kedua-duanya, jika tidak demikian, gugurlah tuntutan itu darinya.

Bulan yang terafdhal untuk puasa sesudah ramadhan ialah bulan Haram. Afdhalnya secara berurutan ialah Muharam, Rajab, Zulhijjah, Zulkaidah, lalu Sya’ban. Puasa tanggal 9 Zulhijjah lebih afdhal dariada puasa tanggal 10 Muharam yang disunatkan puasa pada kedua hari itu.

Barang siapa yang mengerjakan puasa sunat atau salat sunat, ia boleh membatalkannya, tetapi tidak boleh membatalkan ibadah haji sunat. Dan siapa yang mengerjakan qadha wajib, haram membatalkannya, walaupun waktunya leluasa.

Seorang istri haram berpuasa sunat atau qadha pada waktu yang masih leluasa di kala suaminya ada, kecuali atas seizin suami atau dimaklumi ridanya.

Puasa-puasa yang diharamkan

Haram berpuasa pada hari Tasyriq (tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijjah), pada dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), juga pada hari syak (diragukan penetapan tanggal ramadhan), bagi selain yang sudah kebiasaan. Hari syak itu ialah tanggal 30 sya’ban serta sudah tersebar berita di tengah-tengah masyarakat adanya ru’yatulhilal tetapi belum ditetapkan (oleh hakim). Sebagaimana kata Amar bin Yasir, “Barang siapa yang berpuasa pada hari syak, sungguh telah menyalahi Bapak Qasim (Nabi saw).” (Riwayat Turmudzi.

Haram pula berpuasa sunat sesudah setengah (yang akhir) bulan sya’ban selama tidak menghubungkan dengan puasa pada hari sebelumny (walaupun hanya sehari), atau tidak bertepatan dengan adatnya (bagi orang yang dawam atau selalu puasa berselang sehari dan sebagainya), bukan puasa nadzar, atau qadha, walaupun qadha, puasa sunat.

Sebagaimana sabda Nabi saw, “Janganlah kamu mendahului puasa ramadhan dengan melakukannya sehari atau dua hari, kecuali bagi laki-laki yang keadaanya mendawamkan (senantiasa) puasa berselang sehari, teruskanlah puasanya.”

Para ulama meng-qiyas-kan puasa berselang sehari ini pada puasa nadzar, qadha, atau kifarat.

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Related Posts