Inilah Keutamaan Puasa Arafah

Segolongan ulama muta-akhkhiriin memberikan fatwa bahwa pahala puasa Arafah dan sesudahnya (yaitu Asyura dan Tasu’a) tetap berhasil dengan mengerjakan puasa fardu pada hari itu (seperti qadha ramadhan dan sebagainya).

Berbeda dengan pendapat kitab Majmu’ yang diikuti Syeikh Asnawi. Ia berkata, “Kalau berniat puasa Arafah dan qadha ramadhan (misalnya), baginya tidak berhasil sesuatu pun dari kedua puasa tersebut.”

Adapun pendapat yang berlaku bahwa sesungguhnya yang dimaksud adanya puasa pada hari itu, seperti salat sunat tahiyyatul masjid. Sesungguhnya berniat puasa sunat juga (di samping fardu), berhasil pahala kedua-duanya, jika tidak demikian, gugurlah tuntutan itu darinya.

Bulan yang terafdhal untuk puasa sesudah ramadhan ialah bulan Haram. Afdhalnya secara berurutan ialah Muharam, Rajab, Zulhijjah, Zulkaidah, lalu Sya’ban. Puasa tanggal 9 Zulhijjah lebih afdhal dariada puasa tanggal 10 Muharam yang disunatkan puasa pada kedua hari itu.

Barang siapa yang mengerjakan puasa sunat atau salat sunat, ia boleh membatalkannya, tetapi tidak boleh membatalkan ibadah haji sunat. Dan siapa yang mengerjakan qadha wajib, haram membatalkannya, walaupun waktunya leluasa.

Seorang istri haram berpuasa sunat atau qadha pada waktu yang masih leluasa di kala suaminya ada, kecuali atas seizin suami atau dimaklumi ridanya.

Puasa-puasa yang diharamkan

Haram berpuasa pada hari Tasyriq (tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijjah), pada dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), juga pada hari syak (diragukan penetapan tanggal ramadhan), bagi selain yang sudah kebiasaan. Hari syak itu ialah tanggal 30 sya’ban serta sudah tersebar berita di tengah-tengah masyarakat adanya ru’yatulhilal tetapi belum ditetapkan (oleh hakim). Sebagaimana kata Amar bin Yasir, “Barang siapa yang berpuasa pada hari syak, sungguh telah menyalahi Bapak Qasim (Nabi saw).” (Riwayat Turmudzi.

Haram pula berpuasa sunat sesudah setengah (yang akhir) bulan sya’ban selama tidak menghubungkan dengan puasa pada hari sebelumny (walaupun hanya sehari), atau tidak bertepatan dengan adatnya (bagi orang yang dawam atau selalu puasa berselang sehari dan sebagainya), bukan puasa nadzar, atau qadha, walaupun qadha, puasa sunat.

Sebagaimana sabda Nabi saw, “Janganlah kamu mendahului puasa ramadhan dengan melakukannya sehari atau dua hari, kecuali bagi laki-laki yang keadaanya mendawamkan (senantiasa) puasa berselang sehari, teruskanlah puasanya.”

Para ulama meng-qiyas-kan puasa berselang sehari ini pada puasa nadzar, qadha, atau kifarat.

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Related Posts