Lafaz haji memakai fathah awalnya dan boleh pula dengan kasrah, menurut logat ialah “menyengaja atau banyak-banyak menyengaja kepada sesuatu yang diagungkan”. Menurut syara’ ialah bermaksud pergi ke Ka’bah untuk ibadah.
Allah swt berfirman dalam surat Al Hajj ayat 27-28, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang. Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan.
Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang datang ke Mekah (berhaji) untuk mencari keridaan Allah swt, maka pasti diampuni segala dosa-dosanya yang telah lewat dan yang akan datang serta dapat menyafaati kepada orang yang mendoakannya.”
Allah swt berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 197, “(musim) haji itu adalah beberapa bulan yang ditentukan. Barang siapa yang melaksanakan kefarduan haji pada bulan itu, maka janganlah berjima’, berbuat maksiat (fasik), dan janganlah berbantahan ketika menunaikan ibadah haji.”
Perlu diketahui, bahwa ibadah haji itu pada umumnya bersifat ta’abbud (semata-mata tunduk atas perintah Allah, sebab pada umumnya hikmahnya tidak dimengerti akal. Berbeda dengan ibadah lainnya, misalnya salat, puasa, zakat, dan yang lainnya yang umumnya dapat dimengerti hikmahnya, yakni disebut ta’aqquli).
Bila kita teliti, ibadah haji itu ada beberapa hikmah, diantaranya:
- Dengan pakaian ihram, agar manusia merasa sama di sisi Allahmeskipun asalnya berpangkat tinggi, agar ia sadar bahwa ketika dilahirkan nasib manusia itu sama, dan ketika masuk ke dalam kubur pun sama juga, hanya membawa kain kafan,segala kekayaannya ditinggalkan, apalagi pangkatnya. Oleh sebab itu, janganlah takabur dan berfoya-foya di dunia.
- Dengan wukuf di Arafah, agar kita ingat bahwa pada hari kiamat kita akan dikumpulkan di padang Mahsyar, tempat yang luas dan rata, serta terik matahari yang sangat
- Orang yang menunaikan ibadah haji itu adalah tamu Allah swt. oleh karena itu, dalam segala hal dan kejadian yang dialami, hendaknya kita selalu tawakal dan mendekatkan diri ke hadirat Allah swt. karena itu pula, perhatian dan penghargaan masyarakat terhadap orang yang akan pergi haji dan sepulangnya sangat besar,berbeda dengan orang yang bepergian ke luar negeri dan bukan untuk ibadah haji, walaupun waktunya lebih lama dari ibadah haji.
Ibadah Haji merupakan syariat Nabi-Nabi yang terdahulu dan pahala ibadah haji
Ibadah haji merupakan sebagian syariat yang dahulu. Diriwayatkan bahwa Nabi Ada a.s. pernah berhaji 40 kali dari tanah India dengan berjalan kaki. Sesungguhnya malaikat Jibril pernah berkata kepada beliau “Sesungguhnya para malaikat sudah berthawaf sebelum Tuan berada di Baitullah ini sejak tujuh ribu tahun yang lampau.”
Syeikh Ibnu Ishaq berkata: “Tidaklah Allah mengutus Nabi sesudah Nabi Ibrahim a.s. kecuali berhaji.” Menurut penjelasan lain “Sesungguhnya tiada seorang Nabi pun kecuali sudah berhaji.” Berbeda dengan pendapat orang yang mengecualikan Nabi Hud dan Shalih. Salat itu lebih afdhal daripada ibadah haji, berbeda dengan Al Qadhi (perlu diketahui, menurut keterangan Hasan dalam risalahnya sebagai berikut, “Rasulullah saw telah bersabda bahwa kuburan Nabi Nuh, Nabi Hud, Syu’aib, dan Nabi Shalih ialah antara Rukun Yamani, Makam Ibrahim, dan Zam-Zam).
Ibadah haji difardukan pada tahun keenam, menurut kaul yang lebih benar. Nabi Muhammad saw pernah berhaji sebelum dan sesudah diangkat menjadi Nabi. Sebelum hijrah beliau melakukan beberapa kali ibadah haji, tidak diketahui hitungannya; sesudah hijrah bliau hanya melakukan satu kali, yaitu haji wada’.
Dinyatakan dalam hadis, “Barang siapa yang menunaikan haji ke Baitullah, maka dihapus semua dosanya, laksana baru dilahirkan ibunya.”
Ibnu Hajar mengatakan, “(Kata Nabi), ‘laksana baru dilahirkan ibunya’ itu meliputi segala dosa yang berkaitan dengan makhluk.’
Juga hadis yang menjelaskan tentang hal tersebut dalam suatu riwayat. Akan tetapi, zhahir perkataan mereka (fuqaha) berselisih mengenai pendapat itu (yang diampuni semua dosanya termasuk yang bertalian dengan makhluk, dan mereka yang menganggap diampuni dosa terhadap Allah semata-mata). Pendapat yang pertama lebih sesuai dengan zhahirnya hadis, sedangkan pendapat kedua lebih sesuai dengan kaidah hukum (hak yang bertalian dengan Allah dibentuk atas kemurahan, sedangkan hak Adami dibentuk atas kesulitan, yang tidak diampuni kecuali atas ridanya).
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani