Orang yang belum dapat dipastikan sebagai hasil dari ghanimah yang belum di-takhmis (dibagi lima) dan belum dibagi-bagikan, boleh dibeli dan boleh pula menggunakannya untuk keperluan lain. dikatakan demikian karena kemungkinan orang yang mula-mula menahan dan menjualnya adalah kafir harbi atau kafir dzimmi, hal ini berarti dia belum di-takhmis. Kejadian seperti ini cukup banyak dan tidak jarang terjadi.
Apabila telah terbukti dengan jelas bahwa orang yang mengambil tawanan tersebut adalah seorang muslim dengan cara menculik atau memperdayainya, maka tidak boleh memperjualbelikannya kecuali menurut pendapat yang lemah alasannya, yaitu yang mengatakan bahwa budak seperti itu tidak di-takhmis lagi.
Pendapat sejumlah ulama terdahulu mengatakan bahwa makna lahiriah Al Qur’an dan sunnah serta ijma’ menunjukkan larangnan menyetubuhi wanita-wanita tahanan yang didatangkan dari Romawi dan India, kecuali jika ghanimah telah dibagikan oleh seseorang (imam) dengan pembagian yang adil.
Interpretasi pendapat mereka tertuju kepada suatu masalah yang telah dimaklumi, bahwa ghanimah yang dibagikan oleh amir atau imam adalah budak-budak yang terdiri atas kaum muslim. Amir pasukan kaum muslim, sebelum dilakukan penjarahan ghanimah tidak pernah mengatakan, “Barang siapa yang memperoleh sesuatu (dalam perang ini), maka menjadi miliknya.”
Dikatakan demikian karena menyetubuhi wanita tawanan diperbolehkan menurut ketiga orang imam dan salah satu pendapat dari kalangan mazhab Imam Syafii.
Akan tetapi, At Tajul Fazzari menduga bahwa imam tidak diharuskan membagi ghanimah dan tidak pula men-takhmis-nya. Hanya, dia mempunyai hak untuk mengharamkan sebagian dari kalangan pasukan kaum muslim untuk memperoleh ghanimah.
Tetapi pendapatnya ini disangkal oleh yang lainnya, dengan alasan bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan ijma’ ulama.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani