Niat menalak dapat dibenarkan melalui sumpah

Barang siapa yang mengatakan, “Istriku diceraikan,” seraya mengisyaratkan kepada salah seorang di antara istrinya, sedangkan yang dimaksudkannya adalah istri yang satunya lagi, maka niatnya itu dapat dibenarkan melalui sumpahnya (yakni setelah dia disumpah).

Barang siapa mempunyai dua orang istri, sedangkan saah seorang darinya bernama Fathimah binti Muhammad dan yang lainnya bernama Fathimah binti Zaid, lalu ia mengatakan bahwa Fathimah binti Muhammad diceraikan, sedangkan dia bermaksud Fathimah binti Zaid, maka pengakuannya itu dapat dibenarkan.

Disebutkan bahwa pengakuan si suami dalam masalah pertama (yakni orang yang beristrikan Fathimah, lalu si suami mengatakan sebagai jawaban atau sekadar kalimat berita, karena istrinya minta diceraikan, “Fathimah diceraikan,” padahal dia bermaksud Fathimah yang lain). pengakuan si suami tidak dapat diterima, yakni dalam lahiriahnya, tetapi secara batiniah diserahkan sepenuhnya kepada agamanya.

Akan tetapi, memang pendapat yang beralasan cukup kuat lebih cenderung menerima kehendak si suami yang bermaksud seorang wanita bernama Fathimah (selain istrinya) telah diceraikan. Dengan kata lain, talak suami yang demikian kasusnya tidak jadi.

Kekeliruan dalam menyebutkan nama tidak mempengaruhi pada jatuhnya talak

Seandainya seseorang mengatakan, “Istriku Aisyah binti Muhammad diceraikan,” sedangkan nama istrinya adalah Khadijah binti Muhammad, maka istrinya itu terceraikan, karena kekeliruan dalam sebutan nama tidak mempengaruhi ketetapannya.

Seandainya seseorang berkata kepada anak lelakinya yang mukallaf, “Katakanlah kepada ibumu, “Kamu diceraikan’,” sedangkan dia tidak bermaksud mewakilkan, maka perbuatannya itu dapat diartikan sebagai perwakilan. Untuk itu, jika si anak menyampaikan perkataan ayahnya kepada ibunya, maka ibunya menjadi terceraikan karenanya. Perihalnya sama seandainya si ayah bermaksud mewakilkan hal tersebut kepada anaknya, yakni si ibu terPerihalnya sama seandainya si ayah bermaksud mewakilkan hal tersebut kepada anaknya, yakni si ibu terceraikan. Akan tetapi, kasus ini dapat pula diartikan si ibu tetap terceraikan, sedangkan si anak hanya berkedudukan sebagai orang yang menceritakan hal tersebut kepada ibunya.

Al Asnawi mengatakan bahwa sumber kesimpangsiuran dalam menghipotesiskan masalah ini manakala kita jadikan subjek perintah dari apa yang diperintahkan oleh pemberi perintah pertama, sebagaimana perintah itu keluar dari orang yang pertama. Maka perintah untuk menyampaikan berita tersebut sama kedudukannya dengan berita dari ayah secara langsung, kemudian talak dianggap jatuh. Bila tidak demikian, maka talak tidak dianggap jatuh.

Syeikh Zakaria mengatakan, pada garis besarnya dalam menanggapi masalah ini dianjurkan agar pihak ayah dimintai keterangannya. Jika sulit untuk dimintai keterangannya, maka diputuskan berdasarkan hipotesis pertama, agar talak tidak jatuh karena perkataan si ayah, melainkan berdasar perkataan anak kepada ibunya. Karena talak tidak berlaku hanya dengan argumentasi yang meragukan.

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Scroll to Top