Zakat fitrah disebut juga zakat badan. Sebagai dasar hukumnya adalah hadis riwayat Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw pernah mewajibkan zakat fitrah pada bulan ramadhan kepada orang-orang, yaitu satu sha’ kurma (2,176 kg) atau satu sha’ sya’ir (gandum) bagi setiap muslim yang merdeka atau hamba laki-laki maupun perempuan.
Zakat fitrah itu disebut fitrah karena berfitrah itu diwajibkan setelah brbuka puasa. Diwajibkannya sama dengan puasa ramadhan, yaitu pada tahun kedua hijriyah.
Zakat fitrah hubungannya dengan bulan ramadhan, bagaikan sujud sahwi terhadap salat; yaitu untuk menambal kekurangan puasa, sebagaimana sujud sahwi menambal kekurangan salat.
Zakat itu membersihkan orang yang berpuasa dari perbuatan yang tak berguna dan perkataan kotor atau keji.
Zakat fitrah itu kewajiban bagi orang merdeka. Tidak wajib atas hamba sahaya, tuannya lah yang berkewajiban menzakatinya. Juga tidak wajib fitrah bagi istri hamba, bahkan kalau istrinya amat, maka fitrahnya kewajiban tuannya; tetapi kalau istrinya bukan amat, maka fitrahnya merupakan kewajiban istrinya.
Hamba mukatab pun tidak wajib fitrah, sebab lemah pemilikannya. Oleh sebab itu, ia tidak wajib menzakati hartanya (sekalipun cukup nisab) dan tidak wajib pula memberi nafkah kerabatnya; dan karena ia menyendiri (dalam usahanya), maka tuannya tidak berkewajiban memfitrahkan hamba tersebut.
Kewajiban fitrah itu mulai dari terbenam matahari pada akhir bulan ramadhan (Idul Fitri), yakni mulai bertemunya bagian terakhir bulan ramadhan dengan bagian awal bulan syawal.
Tidak wajib fitrah lantaran perkara yang terjadi setelah magrib, misalnya anak (yang lahir setelah magrib), istri (yang dikawin setelah magrib), memiliki hamba, mendadak kaya, atau masusk islam (sesudah magrib).
Kewajiban zakat fitrah tidak gugur karena perkara yang terjadi setelah magrib, misalnya meninggal, tuan yang memerdekakan budak, talak, atau hilang pemilikan, dan waktu melaksanakannya mulai dari waktu wajib hingga matahari terbenam Idul Fitri. Orang merdeka tersebut wajib melaksanakan fitrahnya sebelum terbenam matahari hari lebaran.
Kewajiban berfitrah itu dari setiap muslim yang menjadi kewajiban memberi nafkah sehari-harinya, lantara menjadi istri, hak milik, atau lantara kerabat, ketika terbenam matahari akhir ramadhan, walaupun istri yang ditalak raj’i, atau yang ditalak ba’in dalam keadaan hamil, sekalipun amat, maka wajib mengeluarkan fitrah untuk mereka sebagaimana (wajib) menafkahinya.
Orang yang tidak wajib zakat fitrah serta suami & majikan wajib membayar zakat istri dan pembantunya
Tidak wajib mengeluarkan fitrah bagi istri yang nusyuz, sebab hak nafkah dari suaminya gugur, bahkan fitrahnya menjadi kewajiban dia sendiri jika mmapu.
Tidak wajib fitrah bagi istri merdeka (bukan budak), yang kaya serta tidak nusyuz, dimana suaminya miskin. Sudak wajib fitrah, sebab dia tidak mampu; juga tidak wajib fitrah atas diri istrinya, sebab dia telah cukup menyerahkan dirinya kepada suaminya (maksudnya menjadi tanggungan suami)
Tidak wajib bagi seorang bapak membayarkan fitrah untuk anaknya yang belum dewasa tetapi kaya; ia (anak tersebut) wajib berzakat dari hartanya. Kalau bapaknya mengeluarkan fitrah untuk anak itu dari hartanya sendiri, hal tersebut boleh saja, dan boleh meminta ganti bila ia berniat akan minta ganti.
Zakat fitrah anak hasil zina menjadi kewajiban ibunya. Tidak wajib (atas bapak mengeluarkan fitrah) bagi anaknya yang sudah besar serta kuat berusaha. Juga tidak wajib fitrah terhadap budak yang kafir dan yang murtad, kecuali kalau ia kembali menjadi muslim.
Suami wajib mengeluarkan fitrah untuk khadim (pembantu) istrinya kalau pembantu itu budak wanitanya atau budak wanita istrinya yang diangkatnya (suami) untuk membantu istrinya, bukan pembantu sewaan; dan tidak wajib memfitrahi orang yang menemani istri sekalipun dengan izin suami.
Seorang tuan wajib memfitrahi hamba wanitanya yang dikawinkan dengan laki-laki yang miskin. Wajib mengeluarkan fitrah bagi wanita meredeka yang kaya (mampu) yang dikawinkan dengan hamba. Tidak wajib berfitrah atas hamba tersebut sekalipun ia mampu (mengeluarkan fitrah).
Apabila suami sedang tidak berada di tempat, istri boleh meminjam dulu nafkahnya (seizin qadhi) karena darurat. Tetapi ia tidak boleh meminjam untuk memfitrahi dirinya, sebab suaminyalah yang berkewajiban. Demikian pula sebagian tanggungannya (bapak atau anaknya) yang membutuhkan nafkah.
Wajib mengeluarkan fitrah jika mempunyai kelebihan makanan pokok untuk membiayai kewajibannya, baik menyangkut dirinya maupun orang yang menjadi tanggungannya pada hari dan malam lebaran. Dan mempunyai kelebihan pula dari keperluan pakaian, tempat tinggal, dan pembantu, yang kesemuanya itu dibutuhkan olehnya atau oleh orang yang menjadi tanggungannya. Juga mempunyai kelebihan dari pembayaran utang, demikianlah menurut kaul mu’tamad. Berbeda dengan keterangan dalam kitab Majmu’, yaitu sekalipun utang yang ditangguhkan serta yang mengutangkan rela dengan penangguhan. Dari harta kelebihan itulah yang dikeluarkan untuk zakat fitrah.
Perhitungan zakat fitrah dan tidak boleh membayar zakat fitrah dengan uang atau barang cacat
Zakat fitrah itu (setiap orang) satu sha’, yaitu 4 mud. Sat mud adalah 1 1/3 kati Baghdad; mayoritas orang yang mengukurnya dengan genggaman kedua elapak tangan yang sedang dari setiap seorang yang disesuaikan dengan makanan pokok negaranya, yakni negara orang yang difitrahi (baik menyangkut dirinya maupun orang yang menjadi tanggungannya). 1 kulak = 3 ¼ liter atau 2 ½ kg.
Tidak cukup mengeluarkan zakat fitrah jika makanan pokoknya tidak disesuaikan dengan makanan pokok penduduk yang terdapat di negara yang mengeluarkan fitrah atau yang terdapat di negara orang yang di zakat fitrahi, sebab para mustahiq (orang-orang yang berhak menerima) tertarik dengan keinginan makanan pokok itu.
Oleh sebab itu, wajib memberikan zakat fitrah kepada penduduk yang fakir di negara yang difitrahi (bila orang yang mengeluarkan zakat dan yang dizakatinya berbeda negara). Apabila tidak diketahui tempatnya, seperti memfitrahi orang yang minggat, dalam hal ini ada beberapa pendapat. Diantaranya ialah, fitrah wajib dikeluarkan saat itu juga, sebagian lagi berpendapat bahwa fitrahnya tidak wajib dikeluarkan saat itu, melainkan nanti bila orangnya datang, yang lain berpendapat tidak wajib.
Zakat fitrah tidak mencukupi bila dikeluarkan dalam bentuk harga, atau barang yang cacat, yang berulat, atau yang terkena basah, kecuali jika telah kering dan kembali pada batas kewajaran untuk disimpan (dapat disimpan) dan dipakai untuk kekuatan badan (sebagai makanan pokok); karena umumnya para mustahiq memakan makanan yang terkena basah (cacat), tidak dapat diperhitungkan atau dijadikan ukuran. Kecuali bila tidak mendapatkan selain yang basah, maka boleh yang basah itu untuk fitrah.
Waktu yang haram, sunat, wajib, dan makruh untuk membayar zakat fitrah
Haram menangguhkan berfitrah hingga melewati Idul Fitri tanpa halangan, seperti karena belum ada hartanya atau belum ada mustahiq-nya. Ia wajib mengqadha saat itu juga, karena perbuatan dosanya (dengan menangguhkannya).
Boleh menyegerakan fitrah sejak awal ramadhan, dan sunat tidak mengakhirkannya sesudah salat Id, bahkan makruh kalau sesudah salat Id.
Tetapi sunat menangguhkan fitrah untuk menunggu kedatangan kerabat atau tetangga dekat atau yang lainnya sebelum matahari terbenam pada hari Idul Fitri.
Keterangan:
- Sunat mengeluarkan fitrah sebelum salat Id, sesuai dengan sunnah Rasul.
- Menurut ahli fiqih, hukum mengeluarkan fitrah itu sebagai berikut:
- Diperbolehkan sejak awal bulan ramadhan.
- Wajib, yaitu setelah matahari terbenam akhir ramadhan, dan afdhalnya sebelum salat Id.
- Makruh, yaitu sesudah salat Id.
- Haram, yaitu sesudah lewat Id.
Wajib mengeluarkan fitrah jika mempunyai kelebihan makanan pokok untuk membiayai kewajibannya, baik menyangkut dirinya maupun orang yang menjadi tanggungannya pada hari dan malam lebaran. Dan mempunyai kelebihan pula dari keperluan pakaian, tempat tinggal, dan pembantu, yang kesemuanya itu dibutuhkan olehnya atau oleh orang yang menjadi tanggungannya. Juga mempunyai kelebihan dari pembayaran utang, demikianlah menurut kaul mu’tamad. Berbeda dengan keterangan dalam kitab Majmu’, yaitu sekalipun utang yang ditangguhkan serta yang mengutangkan rela dengan penangguhan. Dari harta kelebihan itulah yang dikeluarkan untuk zakat fitrah.