Inilah Cara Memakai Kain Ihram Yang Benar

Laki-laki diharamkan memakai pakaian yang dijahit, misalnya gamis, mantel, yang ditenun, atau yang diikat di seluruh badannya tanpa udzur. Sebagaimana Nabi Muhammad saw pernah ditanya oleh seseorang mengenai hal tersebut. beliau bersabda:

“Orang yang berihram itu tidak boleh memakai gamis, sorban, celana, kopiah panjang, dan tidak pula khuf. Kecuali seseorang yang tidak mendapatkan sandal, maka boleh memakai khuf, tetapi khuf itu harus dipotong sampai di bawah kedua tumitnya, dan tidak boleh mengenakan pakaian yang terkena zafaran atau celupan wars.”

Dalam hadis Bukhari ada tambahan:

“Perempuan jangan memakai tutup muka dan jangan memakai kaos tangan.”

Tidak haram bagi laki-laki menutup kepala karena udzur, misalnya karena sangat panas atau sangat dingin. Jelas yang menjadi patokan di sini keadaannya tidak kuat bertahan atas hawa tersebut, walaupun tidak memperbolehkan tayamum. bolehlah yang demikian itu serta wajib fidyah, sebab diqiyaskan pada wajibnya fidyah sebagaimana karena udzur.

Tidak haram memakai pakaian yang dijahit kalau tidak mendapatkan yang lainnya, dan tidak mampu mendapatkannya, walaupun dengan cara meminjam, misalnya. Lain halnya dengan seumpama hibah, sebab besar anugerah (maka tidak haram memakai yang dijahit, sebab tidak wajib menerima hibah itu). Oleh karena itu, kalau tidak mendapatkan yang tidak dijahit, boleh menutup aurat dengan pakaian yang dijahit tanpa fidyah; dan memakainya di seluruh badannya diperbolehkan karena hajat seumpama panas serta dingin akan tetapi wajib membayar fidyah. Jadi ada perbedaan antara sekadar menutup aurat dan menutup seluruh badan.

Boleh memakai selendang, berselimut dengan gamis (baju kurung) dengan mantel, boleh mengikat atau menguatkan sarung (kain) dengan benang atasnya supaya tetap (tidak berubah). Tidak boleh mengalungkan mantel di pundaknya walaupun tidak memasukkan tangannya (pada lengan bajunya).

Perempuan diharamkan menutup sebagian mukanya dengan alat yang dianggap penutup. Tetapi hal itu tidak diharamkan bagi laki-laki.

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Related Posts