Dalam mengucapkan salam dan menjawabnya diharuskan dengan suara keras dalam batasan yang dapat didengar secara pasti, sekalipun terhadap orang yang agak rusak pendengarannya.
Memang dibenarkan jika seseorang lewat kepada orang yang disalaminya dengan langkah yang cepat, sehingga jika dijawab suaranya tidak akan sampai kepadanya. Menurut pendapat yang dianggap kuat oleh ulama, si penjawab salam harus mengeraskan suara jawaban dan berlari kecil di belakang orang yang menyalaminya, tetapi tidak boleh lari (dengan maksud agar suara jawaban didengar).
Diwajibkan menghubungkan jawaban salam dengan salam. Perihalnya sama dengan hubungan langsung antara kabul dalam hal jual beli dengan ijab (yakni serah dan terimanya langsung berhubungan tanpa ada jarak waktu pemisah).
Akan tetapi, tidak mengapa mendahulukan lafaz ‘alaika dalam menjawab salam orang yang menyampaikan salam kepadanya melalui orang lain, karena pemisah di sini bukan lafaz yang tidak ada kaitannya dengan salam.
Bilamana tidak ada kespontanan dalam menjawab salam (yang berarti jawabannya tidak sah), maka tidak wajib di-qadha. Lain halnya dengan apa yang diduga oleh Ar Rauyani, dia mengatakan wajib qadha.
Bagaimanakah orang tuli menjawab salam orang lain
Dalam menjawab salam orang tuli diwajibkan melakukannya dengan cara gabungan antara lafaz dan isyarat (yakni ucapan dan isyarat). Akan tetapi, seseorang tidak wajib menjawab salamnya, kecuali jika dia mengucapkan salam dengan cara gabungan antara lafaz dan isyarat.
Memulai salam di saat menghadap dan di saat meninggalkan seorang muslim yang bukan termasuk orang fasik atau orang ahli bid’ah, sekalipun dia anak kecil yang sudah tamyiz yang diduga tidak akan menjawab salamnya, hukumnya sunat ‘ain bagi orang tunggal, dan sunat kifayah bagi jama’ah, perihalnya sama dengan masalah membaca basmalah ketika hendak makan. Ketentuan ini berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan bahwa “sebaik-baik manusia menurut Allah ialah orang yang memulainya dengan ucapan salam.”
Al Qadhi memberikan fatwanya, “memulai salam lebih utama. Sebagaimana menghapus utang orang yang berada dalam kesulitan, lebih utama daripada menangguhkan masa pembayarannya.”
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani