Seandainya si istri memperoleh fasakh melalui hakim terhadap suami yang tidak ada di tempat, lalu si suami kembali dan mengaku bahwa dia mempunyai harta di negeri setempat, hal tersebut tidak dapat membatalkan fasakh. Demikian menurut apa yang difatwakan oleh Imam Ghazali.
Kecuali jika dapat dibuktikan bahwa si istri memang mengetahui keberadaan harta suaminya itu dan mudah baginya untuk memperolehnya sebagai nafkah dari suami.
Lain halnya jika harta suami berupa tanah dan barang yang tidak mudah diperjualbelikan. Maka harta tersebut hukumnya sama saja dengan tidak ada harta.
Atau si istri memperoleh fasakh dengan seizin kadi melalui ucapan, “Aku fasakhka nikahku” (setelah penangguhan selama tiga hari).
Akan tetapi, seandainya si suami menyerahkan nafkah hari yang keempat kepada istri, maka pihak istri tidak dapat mem-fasakh nikahnya atas dasar ketiadaan nafkah selama tiga hari yang lalu, karena nafkah yang tiga hari itu dianggap sebagai utang atas tanggungan suami.
Seandainya suami jatuh miskin sesudah menyerahkan nafkah hari yang keempat hingga tidak mampu membayar nafkah hari yang kelima, maka si istri boleh menjatuhkan fasakh berdasarkan perhitungan masa tangguh yang telah lalu dan tidak usah memulainya dari pertama.
Menurut pengertian lahiriah para ulama, dapat disimpulkan bahwa seandainya suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberikan nafkah hari keenam, maka si istri memulai lagi dari pertama masa tangguhnya; hal ini dapat pula terjadi.
Dapat pula terjadi seandainya suami mampu memberi nafkah selama tiga hari berturut-turut, lalu disela-selai jatuh miskin, maka pihak istri wajib memulai penangguhannya dari pertama. Atau, jika si suami mengalami jatuh miskin kurang dari tiga hari, maka si istri meneruskan masa tangguhnya berdasarkan hitungan terdahulu.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani