Jika keadaan semua ashnaf atau sebagian ashnaf pada waktu tiba kewajiban mengeluarkan zakat masing-masing terhitung tiga orang atau kurang, maka mereka berhak menerima zakat pada masalah yang pertama (yaitu dimana terhitung atau tercatat semua ashnaf) dan dikhususkan bagi yang terhitung pada masalah yang kedua (yaitu yang tercatat hanya sebagian) pada waktu tiba kewajiban.
Karena itu tidak mudarat (tidak menjadi halangan) dengan adanya kekayaan yang baru (mendadak jadi orang mampu), atau salah seorang di antara mustahiqqiin yang telah dicatat mendadak mati, bahkan dengan kejadian tersebut haknya tetap, sehingga bagian mustahiq yang mendadak mati harus diberikan kepada ahli warisnya, walaupun ahli warisnya yang mengeluarkan zakat.
Orang yang baru datang dan orang gaib dari para mustahiq tersebut tidak boleh mencampuri mereka, pada waktu tiba kewajiban zakat, sebab harta zakat itu seolah-olah sudah menjadi hak milik mereka.
Apabila masing-masing mustahiq itu lebih dari 3 orang, mereka tidak berhak memiliki, kecuali dengan pembagian (dibagi khusus). Pemilik harta (kecuali bagi pemerintah) tidak boleh memindahkan harta zakat dari tempat harta itu berada, walaupun ke tempat yang dekat (kurang dari 2 marhalah) dan dianggap tidak mencukupi (dari zakat, kecuali bagi pemerintah. Pemerintah boleh memindahkan harta zakat dari tempat asalnya, ke masa saja sekitar wilayah kekuasaannya dan berdasarkan kepentingannya. Sebagaimana yang dilakukan oleh gubernur Yaman, Abu Mu’adz, ia pernah memindahkan zakat dari Yaman ke Madinah dan menggantinya dengan bentuk barang lain sesuai kebutuhan masyarakat yang akan diberinya). Tidak boleh memberikan harga barang zakat pada selain harta tijarah, dan tidak boleh memberikan bukti barangnya mengenai zakat tijarah. Jadi, tijarah harus dengan uang, bukan dnegan barang. Kalau barang, maka harus diperhitungkan dengan uang, sebab yang diperhitungkan adalah nilai uangnya.
Dikutip dari sahabat Ibnu Umar r.a, Ibnu Abbas, dan Hudzaifah r.a. boleh memberikan zakat kepada satu ashnaf. Imam Abu Hanifah, mengemukakan pendapat itu.
Menurut Imam Abu Hanifah r.a. boleh memindahkan zakat, hanya saja makruh; boleh memberikan harganya (diuangkan) dan boleh pula memberikan zakat harta tijarah.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani