Makruh memberitahukan perbuatan maksiat kepada orang lain melainkan harus bertobat
Apabila seseorang mendapat cobaan berupa perbuatan maksiat atau sejenisnya, dimakruhkan baginya memberitahukan hal itu kepada orang lain, melainkan dianjurkan untuk segera bertobat kepada Allah swt, memutuskan perbuatannya dengan seketika, menyesali apa yang telah dilakukannya, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan maksiat itu lagi untuk selama-lamanya.
Jika seseorang memberitahukan perbuatan maksiat kepada gurunya atau orang lain yang diharapkan dapat memberitahukan kepadanya mengenai jalan keluar dari perbuatan maksiat itu, atau dapat menyelamatkannya dari perbuatan maksiat yang serupa, atau mengenalkan kepadanya tentang penyebab yang menjerumuskan dirinya ke dalam maksiat itu, atau berdoa untuknya, atau lainnya, hal ini tidak dilarang, bahkan dianggap baik. Sesungguhnya yang dimakruhkan ialah bila dalam pemberitaan tersebut tidak mengandung maslahat.
Diriwayatkan di dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim melalui Abu Hurairah yang menceritakan:
Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Semua umatku dimaafkan kecuali orang-orang yang terang-terangan, dan sesungguhnya termasuk perbuatan terang-terangan ialah bila seorang lelaki melakukan perbuatan di malam hari, kemudian dia berpagi hari dalam keadaan dimaafkan oleh Allah swt. tetapi ia mengatakan, ‘hai Fulan, tadi malam aku telah berbuat ani dan anu.’ Semalam penuh ia dalam keadaan ditutupi (dimaafkan) oleh Rabbnya, tetapi dipagi hari ia sendirilah yang menyingkapkan tirai penutup Allah untuk dirinya.”
Dilarang berbicara dengan pembicaraan yang menghasut
Orang mukallaf diharamkan berbicara kepada budak seseorang atau istrinya atau anaknya atau pelayannya dengan pembicaraan yang merusak mereka terhadap tuannya, bila pembicaraan yang ia lakukan terhadap mereka tidak ada kaitannya dengan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Allah swt berfirman dalam surat Al Maidah ayat 2, Dan tolong-menolonglah kalian dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Surat Qaaf ayat 18, “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
Diriwayatkan di dalam kitab Imam Abu Daud dan Imam Nasai melalui Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah pernah bersabda:
Barang siapa yang menghasut istri seseorang atau budaknya, maka ia bukan termasuk golongan kami.
Ucapan yang dilarang dan dianjurkan ketika berbuat ketaatan
Seseorang dianjurkan mengatakan tentang harta yang dikeluarkan untuk ketaatan kepada Allah swt dengan ungkapan, “Aku telah menafkahkan,” dan lain sebagainya yang semakna. Untuk itu, hendaknya ia mengatakan, “Aku telah membelanjakan seribu dinar dalam ibadah hajiku. Aku telah menafkahkan dua ribu dinar dalam peperanganku. Aku telah menafkahkan sejumlah sekian untuk menjamu tamuku, khitanan anak, dan biaya perkawinanku.”
Janganlah mengatakan seperti orang awam, “Aku tekor sekian untuk menjamu tamuku, aku telah rugi dalam hajiku, dan aku telah menyia-nyiakan sekian dalam perjalananku.”
Pada garis besarnya istilah anfaqtu dan yang sejenisnya untuk amal-amal ketaatan, sedangkan ungkapan ‘aku rugi, aku tekor, aku menyia-nyiaka’ hanya untuk hal-hal yang maksiat dan makruh, dan tidak dipakai untuk hal-hal yang berkaitan dengan ketaatan.
Diantara ucapan yang dilarang ialah apa yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang dalam salat bila imam mengucapkan, “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Maka makmum mengucapkan pula, ““Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Hal ini termasuk perkara yang seharusnya ditinggalkan.
Penulis kitab Al Bayan mengatakan bahwa hal tersebut dapat membatalkan salat, kecuali jika orang yang bersangkutan bermaksud membaca Al Qur’an.