Menurut As Subuki menemukan suatu pendapat yang memutuskan bahwa kadi boleh menerima zakat.
As Subuki bersikap ragu terhadap masalah memberi wakaf kepada kadi dari salah seorang penduduk yang tinggal di daerah wewenangnya. Tetapi menurut alasan yang cukup kuat dalam masalah wakaf dan juga dalam masalah nazar, jika si pemberi menentukan namanya, lalu kadi menerimanya (sesuai dengan apa yang disyaratkan), maka ketentuannya sama dengan masalah hadiah yang diberikan kepadanya.
Membebaskan kadi atau dari hutang
Dianggap sah membebaskan kadi dari utang yang ditanggungnya, mengingat tidak disyaratkan adanya kabul (penerimaan) dari pihaknya dalam masalah ini.
Kadi dilarang menghadiri jamuan yang khusus diadakan baginya
Makruh bagi kadi menghadiri suatu walimah yang khusus diadakan hanya untuk dia semata (yang dimaksud walimah disini barangkali jamuan kehormatan). Bahkan segolongan ulama ada yang mengatakannya haram. Atau makruh pula hukumnya, sekalipun dia ditemani oleh sejumlah orang; sedangkan walimah tersebut belum pernah diadakan untuknya sebelum dia diangkat menjadi kadi.
Lain halnya jika walimah tersebut tidak hanya khusus diadakan untuk kadi, umpamanya diadakan untuk para tetangga atau untuk para ulama, sedangkan kadi adalah salah seorang dari mereka; atau diadakan untuk umum (dan kadi termasuk salah seorang yang diundang).
Selain kadi boleh menerima hadiah pernikahan
Di dalam kitab Al Ubad disebutkan, “Diperbolehkan bagi selain kadi menerima hadiah karena sebab nikah, jika si penerima tidak mensyaratkannya sebelum itu. Kadi pun boleh menerimanya sekiranya ia diperbolehkan menghadiri walimah tersebut dan dia tidak mensyaratkannya serta tidak meminta hadiah. Hanya, masalah ini masih perlu dipertimbangkan.”
Orang yang boleh meminta upah karena dimintai keputusannya
Orang yang tidak mempunyai jaminan dari baitul mal dan tidak pula dari usaha yang lain, sedangkan dia bukan orang yang ditentukan untuk menangani peradilan, dan pekerjaan yang ditanganinya selalu memakai imbalan upah, diperbolehkan mengatakan, “Aku tidak mau memutuskan perkara di antara kalian bedua kecuali dengan upah atau imbalan.” Demikian menurut sejumlah ulama.
Sedangkan menurut ulama lainnya hal itu haram. Pendapat ini lebih hati-hati, sedangkan pendapat pertama lebih mendekati kebenaran (realitas).
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani