Kewajiban haji itu adalah sekali seumur hidup dengan waktu yang leluasa, tidak wajib seketika. Sesungguhnya boleh ta-khir (menunda) itu dengan syarat bermaksud mengerjakannya pada waktu yang akan datang.
Ada yang mengatakan “orang yang mampu wajib tidak meninggalkan ibadah haji itu dalam 5 tahun sekali, seba ada hadis mengenai hal itu.”
Wajib mengantikan (mengqadha) haji bagi mayat yang telah berkewajiban menunaikan haji (ketika hidupnya) dari tirkahnya (harta peninggalan mayat), sebagaimana wajib mengqadha (membayar) hutang-hutangnya.
Apabila mayat tidak mempunyai tirkah, ahli warisnya disunatkan mengerjakan ibadah haji atas mayat itu. Orang lain boleh mengerjakan (mengqadhakannya) walaupun tanpa izin dari keluarganya. Juga wajib menggantikan/atas nama orang yang lumpuh (tidak kuat fisiknya) untuk menunaikan hajinya, misalnya lumpuh atau sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, dengan cara mengupah ke orang lain (yang lumrah), yang telah lebih dari kebutuhannya pada hari mengupahkannya, dan lebih untuk biaya diri dan keluarganya sesudah itu.
Riwayat Ibnu Abbas r.a. Seorang wanita dari Juhainah menghadap Rasulullah saw seraya berkata, “Sesungguhnya ibu saya bernadzar untuk menunaikan haji, lalu ia mati sebelum menunaikan haji, apakah saya boleh berhaji atas namanya?” sabda Rasulullah saw, “Boleh, silakan engkau menunaikan haji atas namanya. Bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai utang? Apakah engkau bersedia membayarnya?” jawab wanita itu, “Ya, sanggup.” Sabda Rasulullah saw, “Penuhilah hak Allah, karena hak Allah itu lebih utama untuk dipenuhi.” (Riwayat Bukhari)
tidak sah menghajikan orang lumpuh tanpa izinnya, sebab menunaikan haji itu membutuhkan niat, sedangkan dalam hal ini dialah yang berhak niat dan mengizinkan.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani