Hukum Membaca Niat Ketika Akan Berpuasa

Fardu puasa ialah niat dengan hati. Tidak disyaratkan mengucapkan lafaz niat, bahkan hanya disunatkan. Niat tersebut tidka cukup hanya dengan makan sahur, sekalipun sahur itu dimaksudkan untuk menguatkan puasa.

Tidak cukup dengan menahan diri dari mengerjakan yang membatalkan puasa karena takut terbit fajar, selama tidak terlintas dalam hatinya akan puasa dengan sifat-sifat yang wajib dikemukakan baginya dalam niat setiap hari.

Kalau pada awal malam ramadhan seseorang berniat puasa sekaligus untuk puasa sebulan penuh, maka tidak mencukupi baginya selain untuk hari pertama.

Ibnu Hajar berkata, “Akan tetapi, selayaknya berniat demikian agar berhasil puasa pada hari yang terlupa niatnya, yang demikian itu menurut Imam Malik, sebagaimana disunatkan berniat puasa pada awal (pagi) hari bagi yang terlupa niat di malamnya, agar tetap berhasil puasanya menurut Imam Hanifah.”

Keterangan:

  1. Menurut Imam Syafii, wajib berniat setiap malam karena hari terpisah oleh yang membatalkan puasa.
  2. Menurut Imam Malik, tidak dsyaratkan berniat puasa setiap malam.
  3. Menurut Imam Hanafi r.a., tidak diwajibkan berniat pada malam hari.
  4. Sabda Nabi Muhammad saw, “Sesungguhnya sahnya segala amal perbuatan bergantung pada niat.”

Yang jelas, sesungguhnya puasa dengan niat seperti tersebut tadi, adalah kalau orang bertaklid (kepada Imam Malik dalam mencukupkan niat sekaligus sejak awal ramadhan, dan niat pada awal hari bertaklid kepada Imam Hanafi). Kalau tidak berniat taklid, berarti mengerjakan amal ibadah yang rusak menurut i’tikadnya (haram hukumnya).

Niat puasa ramadhan, puasa qadha, puasa nadzar, puasa kifarat

Untuk kefarduan puasa, walaupun puasa nadzar, kifarat, atau puasa istisqa’ atas perintah pemerintah, disyaratkan berniat pada waktu malam, yakni antara terbenam matahari dan terbit fajar, sekalipun puasa seorang anak mumayiz.

Ibnu Hajar berkata, “Kalau orang ragu apakah niatnya itu jatuh sebelum terbit fajar atau sesudahnya, tidak sah puasanya, sebab asalnya tidak jatuh niat itu pada malam hari, karena setiap yang baru terjadi, diperkirakan dengan zaman yang terdekat (yaitu dalam hal ini jatuh niat sesudah terbit fajar. Asal atau pokok ialah niat; zaman terdekat ialah terbit fajar).”

Lain halnya kalau orang berniat, lalu merasa ragu apakah sudah terbit fajar atau belum (maka dianggap niatnya sah), sebab asalnya belum terbit fajar, karena asal yang tersebut tadi (yaitu kaidah tersebut di atas).

Makan dan jima’, misalnya sesudah niat dan belum terbit fajar tidak membatalkan puasa. Bertul demikian, kalau orang menghentikannya sebelum terbit fajar (atau menyelangnya dengan murtad, berarti batal puasanya), maka dengan pasti ia perlu memperbarui niatnya.

Wajib menentukan yang diniatkan kefarduannya, seperti puasa fardu ramadhan, nadzar, kifarat, dengan berniat puasa setiap malam, bahwa akan berpuasa esok hari di bulan ramadhan, nadzar ataukifarat, sekalipun tidak menentukan sebab kifaratnya.

Maka, jika orang berniat puasa fardu atau dari kefarduan waktu puasa, tidak mencukupi. Hanya orang yang berkewajiban mengqadhai puasa dua kali ramadhan, puasa nadzar, atau kifarat dari sebab yang berbeda-beda (seperti nadzar untuk berbuat kebaikan, kifarat karena melanggar kewajiban haji, atau kifarat sumpah, dll), maka tidak disyaratkan harus ditentukan niatnya (seperti untuk qadha bulan ramadhan yang terdahulu, atau yang keduanya, dan sebagainya), sebab sama jenisnya (yaitu sama-sama bulan ramadhan, sama nadzarnya, atau sama kifaratnya).

Kecuali dengan kalimat “disyaratkan niat pada malam hari pada puasa fardu” ialah puasa sunat. Maka puasa sunat itu sah (apabila) berniat puasa sebelum tergelincir mathari, walaupun puasa sunat tersebut waktunya tertentu (seperti puasa hari Arafah, dan sebagainya), karena ada hadis sahih. Siti Aisyah berkata, “Pada suatu hari Rasululah saw masuk ke rumahku, lalu beliau menanyakan, ‘Apakah padamu ada sesuatu?’ jawabku, ‘tidak ada,’ sabdanya, ‘Kalau begitu aku akan berpuasa.’ Pada hari lainnya Rasululla saw masuk ke rumahku, lalu beliau menanyakan lagi, ‘Apakah padamu ada sesuatu?’ jawabku, ‘Ada,’ lalu beliau bersabda, ‘Kalau begitu aku akan berbuka’.” (Riwayat Daruquthni)

dikecualikan pula dengan kalimat ta’yin pada puasa fardu, yaitu pada puasa sunat. Maka dengan niat puasa secara mutlak, (saya niat berpuasa, dengan tanpa ta’yin) walaupun pada puasa yang ditentukan waktunya (seperti puasa hari senin, kamis, ‘Asyura, Arafah, dll), sebagaimana yang dikuatkan (dipegang) bukan oleh seorang ulama saja (seperti Syeikh Kurdi dan Syarbini)

bacaan atau lafaz niat puasa

Telah dibahas dalam kitab Majmu’ persyaratan adanya penentuan dalam puasa rawatib seperti puasa hari Arafah dan puasa lain yang bersamaan dengan hari Arafah. Maka tidak sah menyertakan niat puasa rawatib dengan puasa lainnya sekalipun diniatkan (lain halnya dengan sunat salat rawatib, dapat disatukan dengan tahiyyatul masjid).

Bahkan tuntutan qiyas, sebagaimana perkataan Imam Asnawi, “Sesungguhnya berniat puasa rawatib dan lainnya (disatukan), membatalkan puasa, seperti orang berniat salat fardu Lohor dan sunatnya atau sunat Lohor sisatukan dengan sunat Asar (maka tidak sah).”

Niat puasa yang mencukupi itu paling sedikit ialah, “Saya berniat puasa ramadhan,” walaupun tidak dengan menyebut fardu, menurut kaul muktamad sebagaimana yang ditashih dalam kitab Majmu’ karena mengikuti kebanyakan ulama, sebab sesungguhnya puasa ramadhan bagi orang yang balig, mesti fardu.

Tujuan perkataan Raudhah dan Minhaj: mewajibkan adanya niat fardu. Atau tidak harus meniatkan “hari esok’, sebab lafaz “esok” termasyhur dalam perkataan ulama dalam menerangkan ta’yin.

Adapun kalimat “esok” itu pada hakikatnya bukan atau tidak termasuk batas ta’yin, maka tidak wajib menyatakannya secara khusus “esok”, bahkan cukup termasuk kalimat “esok” itu dalam niat puasa bulan yang diniatkannya, sebab ketika itu (dalam menyebut bulan ramadhan) sudah termasuk ta’yin. Akan tetapi, menurut Syeikh Mazdad, “wajib menentukan esok”

Adapun niat puasa yang paling lengkap adalah, “Saya berniat puasa esok hari untuk melaksanakan kefarduan bulan ramadhan, tahun ini karena Allah ta’ala.” Lafaz ramadhan di-jar-kan, sebab di idhafat-kan kepada lafaz sesudahnya, karena niat puasa tersebut sah secara ittifaq.

Menurut Imam Adzra’i, bahwa sesungguhnya klau ada seseorang melaksanakan kewajiban, mislanya kewajiban qadha puasa ramadhan (tahun) sebelumnya (memunyai kewajiban ganda), maka wajib mengemukakan “ada” atau “melaksanakan kewajiban waktu itu” atau menentukan tahunnya.

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Related Posts