Telah dibahas dalam kitab Majmu’ persyaratan adanya penentuan dalam puasa rawatib seperti puasa hari Arafah dan puasa lain yang bersamaan dengan hari Arafah. Maka tidak sah menyertakan niat puasa rawatib dengan puasa lainnya sekalipun diniatkan (lain halnya dengan sunat salat rawatib, dapat disatukan dengan tahiyyatul masjid).
Bahkan tuntutan qiyas, sebagaimana perkataan Imam Asnawi, “Sesungguhnya berniat puasa rawatib dan lainnya (disatukan), membatalkan puasa, seperti orang berniat salat fardu Lohor dan sunatnya atau sunat Lohor sisatukan dengan sunat Asar (maka tidak sah).”
Niat puasa yang mencukupi itu paling sedikit ialah, “Saya berniat puasa ramadhan,” walaupun tidak dengan menyebut fardu, menurut kaul muktamad sebagaimana yang ditashih dalam kitab Majmu’ karena mengikuti kebanyakan ulama, sebab sesungguhnya puasa ramadhan bagi orang yang balig, mesti fardu.
Tujuan perkataan Raudhah dan Minhaj: mewajibkan adanya niat fardu. Atau tidak harus meniatkan “hari esok’, sebab lafaz “esok” termasyhur dalam perkataan ulama dalam menerangkan ta’yin.
Adapun kalimat “esok” itu pada hakikatnya bukan atau tidak termasuk batas ta’yin, maka tidak wajib menyatakannya secara khusus “esok”, bahkan cukup termasuk kalimat “esok” itu dalam niat puasa bulan yang diniatkannya, sebab ketika itu (dalam menyebut bulan ramadhan) sudah termasuk ta’yin. Akan tetapi, menurut Syeikh Mazdad, “wajib menentukan esok”
Adapun niat puasa yang paling lengkap adalah, “Saya berniat puasa esok hari untuk melaksanakan kefarduan bulan ramadhan, tahun ini karena Allah ta’ala.” Lafaz ramadhan di-jar-kan, sebab di idhafat-kan kepada lafaz sesudahnya, karena niat puasa tersebut sah secara ittifaq.
Menurut Imam Adzra’i, bahwa sesungguhnya klau ada seseorang melaksanakan kewajiban, mislanya kewajiban qadha puasa ramadhan (tahun) sebelumnya (memunyai kewajiban ganda), maka wajib mengemukakan “ada” atau “melaksanakan kewajiban waktu itu” atau menentukan tahunnya.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani