Apabila suami memberi mas kawin kepada istrinya dengan emas dan perak satu nisab, walaupun masih dalam tanggungannya (belum dibayar), atau dengan binatang ternak yang ditentukan (bukan berupa tanggungan), si istri wajib mengeluarkan zakatnya bila telah sempurna haul-nya dari waktu pemberian maskawin itu walaupun belum menerimanya dan suaminya belum menjima’nya (sebab istri dianggap miliknya dengan sempurna walaupun belum pasti kalau belum dijima’). Akan tetapi disyaratkan jika keadaan maskawin dengan emas yang masih dalam jaminan itu diduga dapat diterimanya karena suaminya ada dan mampu.
Menurut kaul atau pendapat yang jelas, zakat itu bertalian dengan harta, seperti bertaliannya syirkah (antara pewajib zakat dan mustahiq).
Dalam kaul qadim Imam Syafii yang dipilih oleh Imam Raimy dikatakan, “Pertaliannya itu dengan adanya tanggungan, bukan dengan bukti hartanya.”
Oleh karena itu menurut kaul yang pertama (yang mengatakan pertalian syirkah), sesungguhnya mustahiq zakat itu berserikat dengan pewajib zakat yang wajib dikeluarkan. Yang demikian itu karena sesungguhnya kalau pewajib zakat itu menolak mengeluarkannya, pemerintah berhak mengambilnya dengan paksa seukuran zakat itu dari pewajib zakat, sebagaimana harus dibagikannya harta serikat dengan paksa bila salah seorang tmannya menolak untuk membagikannya dari bagiannya.
Para ulama fiqih tidak membedakan harta serikat antara barang bukti dan piutang, maka pemilik utang (yang mengutangkan) tidak boleh mengaku memiliki hartanya, bahkan ia hanya berhak menerimanya (seukuran piutangnya).
Bila suami berkata kepada istrinya, walaupun sesudah haul (dari ikrar maskawin), “Jika kamu membebaskan aku dari maskawinmu, maka kamu tertolak (jatuh talak),” lalu istrinya membebaskannya dari maskawin itu, maka istri belum tertalak, sebab belum bebas dari semua maskawin (masih ada bertalian dengan seukuran zakatnya), bahkan yang bebas itu hanya dari sisa ukur zakat (yaitu dikurangi 2 ½ persen).
Caranya, seharusnya suami memberikan maskawin kepada istrinya seukuran zakatnya, lalu istrinya membebaskan maskawin itu. Batal jual beli dan gadai seukuran zakat saja (sebab seukuran zakat itu harus diberikan kepada mustahiqnya).
Jka mengerjakan salah satunya (menjual atau menggadaikan harta yang belum dizakati), dengan ukuran 1 nisab zakat atau setengahnya sesudah haul (sebelum dikeluarkan zakatnya), maka sah akadnya, kecuali seukuran zakat, sebagaimana peraturan harta serikat, menurut kaul yang jelas. Tetapi sah juga seukuran zakat itu pada harta tijarah (perdagangan), kecuali hibah (tidak sah), pada ukuran zakat meski pada harta tijarah (sebab kaitan zakat dalam tijarah mengenai harga, bukan mengenai jenis harta seperti zakat selain tijarah).
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani