Seseorang dihalalkan menikahi wanita yahudiyah, sekalipun hukumnya makruh. Tetapi dengan syarat, hendaknya dia tidak mengetahui perihal masuknya nenek moyang wanita itu ke dalam agama yahudi sesudah Nabi Isa diutus, sekalipun dia mengetahui bahwa nenek moyang calon istrinya itu memeluk agama yahudi sesudah kitab Taurat diubah.
Dimakruhkan pula menikahi wanita selain wanita yahudiyah, tetapi dengan syarat dia harus mengetahui masuknya nenek moyang calon istrinya itu ke dalam agama tersebut sebelum zaman bi’tsah, sekalipun sesudah kitab mereka diubah, jika mereka menjauhi hal-hal yang diubah tersebut.
Seandainya ada seorang lelaki kitabi masuk islam, sedangkan istrinya masih kitabi, nikahnya tetap lestari (utuh) sekalipun istrinya itu belum sempat ia setubuhi.
Atau seorang lelaki animis masuk islam, sedangkan ia mempunyai istri yang animis. Sebelum bercampur, si istri tidak mau masuk islam, maka perceraian terjadi secara otomatis ketika itu juga. Atau sesudah persetubuhan (dan perceraian otomatis terjadi karena suaminya islam), kemudian si istri masuk islam juga selagi masih dalam iddahnya, maka nikahnya tetap utuh (yakni fasakh-nya tidak jadi). Tetapi jika si istri tetap bersikeras tidak mau masuk islam, maka perceraian (fasakh nikah) dimulai sejak suaminya masuk islam.
Demikianlah penjelasan dari kami, semoga uraian di atas bisa bermanfaat bagi kita semua di dunia dan di akhirat, amin.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani