Pengertian Hibah Menurut Imam Nawawi

Imam Nawawi mengatakan bahwa seandainya seseorang menghibahkan sesuatu dan sudah diterima oleh pihak penerima hibah, kemudian penghibah meninggal dunia, lalu ahli warisnya mendakwakan bahwa saat itu keadaan penghibah sedang sakit, sedangkan penerima hibah dalam keadaan sehat wal afiat, maka pihak penerima hibah dapat dibenarkan.

Seandainya kedua belah pihak masing-masing mengajukan bukti, maka yang didahulukan adalah bukti dari pihak ahli waris, sebab bukti yang ada pada ahli waris memiliki informasi yang lebih.

Piutang yang dihibahkan kepada pengutang sama saja dengan pembebasan utangnya. Karena itu, tidak diperlukan adanya kabul, mengingat pertimbangan segi makna.

Tetapi jika dihibahkan kepada selain pengutang, maka termasuk hibah yang sesungguhnya, jika kedua belah pihak mengetahui jumlahnya. Demikian pendapat yang dinilai sahih oleh sejumlah ulama karena mengikuti nash Imam Syafii.

Membebaskan tanggungan yang tidak diketahui jumlahnya

Tidak sah membebaskan tanggungan yang jumlahnya tidak diketahui (misteri) oleh pihak yang memberi utang atau oleh pihak pengutang. Tetapi sah terhadap sesuatu yang (misteri tetapi) ada imbalannya, misalnya dikatakan, “Jika engkau membebaskan aku (dari tanggunganku), maka engkau kuceraikan.” Terhadap selain masalah tersebut, tidak sah menurut pendapat yang dapat dipegang.

Di dalam qaul qadim disebutkan bahwa sah membebaskan tanggungan terhadap sesuatu yang tidak diketahui secara mutlak.

Seandainya seseorang melakukan suatu pembebasan, kemudian dia mendakwakan bahwa dia tidak mengetahui adanya pembebasan tersebut, maka secara lahiriah perkataannya tidak dapat diterima, melainkan hanya secara batiniah saja.

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Scroll to Top