Wajib mengeluarkan zakat sekalipun orang tersebut mempunyai nisab berutang yang wajib dibayar waktu itu sehingga menghabiskan semua hartanya, baik berutang kepada Allah (misalnya kifarat atau nadzar) maupun berutang kepada manusia. Menurut pendapat yang jelas, utang itu tidak menghalangi wajib zakat (sedangkan menurut pendapat yang lainnya, menghalangi).
Wajib mengeluarkannya seketika itu juga (yaitu ketika sudah tiba waktunya. Misalnya zakat padi, wajib mengeluarkannya sesudah selesai dipotong atau dipanen; pada zakat mal sesudah haul, pada zakat fitrah sesudah terbenam matahari malam Idul Fitri); walaupun mengenai harta kepunyaan anak kecil dan orang gila; sebab para mustahiq sangat membutuhkannya.
Apabila terlambat mengeluarkannya, berdosa; dan wajib mengganti kalau terjadi kerusakan sesudah imkan (mampu) mengeluarkannya. Tetapi kalau mengakhirkan mengeluarkannya karena menunggu saudara atau tetangga yang mustahiq yang sangat membutuhkannya, atau untuk lebih maslahat ditangguhkan, tidak berdosa melambatkannya; hanya, wajib mengganti bila ada kerusakan.
Seperti halnya sengaja merusak atau lalai dalam menolak (menjaga) yang merusaknya, misalnya menyimpan bukan pada tempatnya yang wajar sesudah haul sebelum dikeluarkan (sehingga ada yang mencuri, dimakan hewan, dan sebagainya. kalau tidak lalai dalam penjagaan, misalnya padi disimpan di karung digudang, uang disimpan di lemari, tiba-tiba ada yang mencuri, tidak wajib menggantinya).
Berhasil tamakkun (dapat mengeluarkan zakat itu) karena ada harta yang asalnya gaib (jauh dari pemiliknya) sehingga memerlukan perjalanan atau berada di tempat pemiliknya; hanya, sulit mendatangi harta itu (karena terhalang oleh banjir), gangguan keamanan, kunci gudang hilang, dan yang lainnya).
Jika harta zakat belum ada, tidak wajib mengeluarkannya dari tempat lain (dari harta lainnya) sekalipun diperbolehkan memindahkan zakat.
Orang-orang yang berhak menerima zakat, atau sebagian dari para penerima itu, harus sudah hadir (ada). Maka si pemilik sudah dianggap imkan mengeluarkan zakat nisbat pada bagian orang yang sudah ada itu, sehingga jika rusak sebelum dibagikan, ia harus menggantinya.
Zakat dibayarkan setelah menunaikan kepentingan agama dan dunia
Zakat itu harus dikeluarkan setelah selesai menunaikan kepentingan agama (seperti salat dan sebagainya); dan kepentingan duniawi, misalnya makan kalau ia lapar, buang air di toilet (dan nisbat padi sudah bersih dari jerami dan yang lainnya); atau kalau piutang, harus sudah tiba waktu pembayarannya, berupa emas, perak, atau barang dagangan.
Utang itu dapat terbayar, karena yang berutang ada orangnya dan mampu, juga bersedia membayarnya; atau orang yang berutang tidak mengaku mempunyai utang, tetapi ada saksinya (akan utang itu), atau setahu qadhi, atau keadaan yang mengutangkan mampu menyelesaikan piutangnya dengan yang berutang (yang tidak mengakui itu). Maka yang mengutangkan wajib berzakat ketika itu walaupun belum menerimanya, sebab ia mampu untuk mengambil pembayarannya.
Manakala ia sukar mengambil (menagih) pembayarannya karena yang berutang itu miskin, menangguh-nangguhkan (melambatkan) membayarnya, atau orangnya gbelum datang, atau tidak mengaku mempunyai utang serta tidak ada saksi, maka hartanya itu seperti harta yang di gasab orang. Oleh sebab itu, tidak wajib mengeluarkan zakatnya kecuali setelah menerimanya.
Harta yang digasab dan harta yang hilang, wajib dizakati, tetapi tidak wajib mengeluarkannya kecuali harus sesudah imkan, yaitu sesudah kembali kepadanya.
Hukum bagi suami yang memberikan maskawin sebesar nisab emas
Apabila suami memberi mas kawin kepada istrinya dengan emas dan perak satu nisab, walaupun masih dalam tanggungannya (belum dibayar), atau dengan binatang ternak yang ditentukan (bukan berupa tanggungan), si istri wajib mengeluarkan zakatnya bila telah sempurna haul-nya dari waktu pemberian maskawin itu walaupun belum menerimanya dan suaminya belum menjima’nya (sebab istri dianggap miliknya dengan sempurna walaupun belum pasti kalau belum dijima’). Akan tetapi disyaratkan jika keadaan maskawin dengan emas yang masih dalam jaminan itu diduga dapat diterimanya karena suaminya ada dan mampu.
Menurut kaul atau pendapat yang jelas, zakat itu bertalian dengan harta, seperti bertaliannya syirkah (antara pewajib zakat dan mustahiq).
Dalam kaul qadim Imam Syafii yang dipilih oleh Imam Raimy dikatakan, “Pertaliannya itu dengan adanya tanggungan, bukan dengan bukti hartanya.”
Oleh karena itu menurut kaul yang pertama (yang mengatakan pertalian syirkah), sesungguhnya mustahiq zakat itu berserikat dengan pewajib zakat yang wajib dikeluarkan. Yang demikian itu karena sesungguhnya kalau pewajib zakat itu menolak mengeluarkannya, pemerintah berhak mengambilnya dengan paksa seukuran zakat itu dari pewajib zakat, sebagaimana harus dibagikannya harta serikat dengan paksa bila salah seorang tmannya menolak untuk membagikannya dari bagiannya.
Para ulama fiqih tidak membedakan harta serikat antara barang bukti dan piutang, maka pemilik utang (yang mengutangkan) tidak boleh mengaku memiliki hartanya, bahkan ia hanya berhak menerimanya (seukuran piutangnya).
Bila suami berkata kepada istrinya, walaupun sesudah haul (dari ikrar maskawin), “Jika kamu membebaskan aku dari maskawinmu, maka kamu tertolak (jatuh talak),” lalu istrinya membebaskannya dari maskawin itu, maka istri belum tertalak, sebab belum bebas dari semua maskawin (masih ada bertalian dengan seukuran zakatnya), bahkan yang bebas itu hanya dari sisa ukur zakat (yaitu dikurangi 2 ½ persen).
Caranya, seharusnya suami memberikan maskawin kepada istrinya seukuran zakatnya, lalu istrinya membebaskan maskawin itu. Batal jual beli dan gadai seukuran zakat saja (sebab seukuran zakat itu harus diberikan kepada mustahiqnya).
Jka mengerjakan salah satunya (menjual atau menggadaikan harta yang belum dizakati), dengan ukuran 1 nisab zakat atau setengahnya sesudah haul (sebelum dikeluarkan zakatnya), maka sah akadnya, kecuali seukuran zakat, sebagaimana peraturan harta serikat, menurut kaul yang jelas. Tetapi sah juga seukuran zakat itu pada harta tijarah (perdagangan), kecuali hibah (tidak sah), pada ukuran zakat meski pada harta tijarah (sebab kaitan zakat dalam tijarah mengenai harga, bukan mengenai jenis harta seperti zakat selain tijarah).
Membayar utang kepada Allah dulu atau kepada manusia
Mengeluarkan zakat dan seumpamanya harus didahulukan (misalnya biaya mengqadha, ibadah haji, kifarat dan nadzar) dari tirkah orang yang berutang sekira tidak mencukupi tirkah itu untuk memenuhi kewajibannya dari hak-hak manusia dan hak-hak Allah, misalnya kifarat (sumpah dan sebagainya), mengqadha ibadah haji, nadzar, dan zakat.
Karena ada hadis sahih, “Adapun utang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar.”
Sebab membayar hak Allah itu selain memenuhi kewajiban kepada Allah, juga dipergunakan untuk kepentingan manusia. Menurut satu kaul lagi, harta tirkah itu harus dibagi 2 bagian. Sebagian untuk memenuhi hak Allah dan sebagian untuk hak manusia.
Seperti halnya bila berkumpul dua hak itu atas kewajiban seseorang yang masih hidup yang hartanya tidak disita (oleh pemerintah, maka membayar zakat harus didahulukan. Kalau hartanya disita oleh pemerintah karena utangnya banyak, maka membayar utang kepada manusia yang didahulukan). Bila pada diri seseorang berkumpul beberapa hak Allah (sedangkan hartanya sedikit), maka zakatlah yang lebih dahulu harus dibayar, jika bukti barang dan keadaan nisabnya masih tetap bertalian.
Apabila tidak bertalian dengan bukti barangnya (bahkan hanya dalam tanggungannya) karena hartanya sudah rusak, padahal sudah memenuhi nisab dan sudah dapat dibagikan, maka hukum mengeluarkan zakatnya sama dengan selainnya (dari hak-hak Allah seperti kifarat dan sebagainya). maka harta tirkah itu harus dibagikan pada semua hak-hak Allah yang wajib dipenuhi.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani