Peradilan terhadap orang yang tidak ada di tempat (in absentia), yakni orang tersebut tidak ada di negeri setempat, sekalipun dia berada di luar wilayah wewenang kadi, atau tidak ada di majelis, karena orang yang dimaksud bersembunyi atau kebal hukum, merupakan hal yang diperbolehkan dalam masalah yang bukan menyangkut hak Allah swt.
Jika si pendakwa (penggugat) mempunyai hujah, sedangkan orang yang didakwanya tidak ada di tempat, menurut pengakuan si pendakwa tidak mengakui haknya, bahka mengingkarinya, padahal si terdakwa diharuskan mengembalikannya dalam saat itu (yakni sudah jatuh tempo pengembaliannya), maka si pendakwa berhak mengajukan tuntutannya.
Jika si pendakwa mengatakan bahwa si terdakwa yang tidak ada di tempat mengakuinya dan ia dapat mengemukakan hujah, dengan maksud memperjelas duduk perkaranya, karena khawatir si terdakwa mengingkari, atau untuk menggerakkan kadi agar menulis surat kepada kadi yang berada di tempat si terdakwa, maka hujahnya itu tidak dapat diterima karena keterangannya bertentangan dengan pengakuan yang didengarnya. Dikatakan demikian karena tidak ada artinya suatu hujah bila dibarengi dengan pengakuan.
Memang dibenarkan seandainya orng yang tidak ada di tempat memiliki harta yang ada di tempat, sedangkan bukti memperkuat utang yang ditanggungnya, tetapi bukan bermaksud agar kadi berkirim surat kepada hakim negeri tempat si terdakwa, melainkan agar si terdakwa mau melunasi utangnya dari harta yang ada di tempat itu, maka hujahnya dapat didengar, sekalipun dia mengatakan bahwa si terdakwa mengakuinya. Hujahnya didengar pula jika ia memutlakkan keterangannya (tanpa menyebut si terdakwa mengakui atau tidak).
Jika tuduhan itu menyangkut masalah utang atau barang atau sahnya suatu akad (transaksi) atau pembebasan tanggungan. Umpamanya orang yang tidak ada di tempat telah melimpahkan utangnya kepada orang yang berpiutang kepadanya dan hadir di tempat, tetapi dia menyangkal bahwa utangnya telah dibebaskan, maka si pendakwa (pengugat) wajib disumpah dengan sumpah istizh-har (untuk kebenaran keterangannya), jika orang yang tidak ada di tempat bukan bersembunyi dan bukan pula kebal hukum. Penyumpahan dilakukan sesudah tegaknya bukti yang menunjukkan bahwa perkara utang dalam contoh pertama tadi masih tetap berada dalam tanggungan si terdakwa (tergugat) sampai sekarang. Dinyatakan demikian untuk melindungi hak si terdakwa (tergugat) karena kemungkinan jika dia hadir di tempat persidangan akan menyangkalnya dengan hal-hal yang membebaskan dirinya dari tuduhan tersebut.
Selain dari yang telah disebutkan di atas, disyaratkan hendaknya si pendakwa (penggugat) mengatakan, “Sesungguhnya di (si terdakwa atau tergugat) harus menyerahkannya langsung kepadaku,” atau “Sesungguhnya dia tidak mengetahui bahwa dalam diri saksi-saksinya terdapat cacat,” seperti fasik dan permusuhan.
Di dalam syarah Al Minhaj dikatakan bahwa masalahnya sudah jelas, seperti yang dikatakan oleh Al Bulqini, “Sesungguhnya sumpah ini tidak dapat dilakukan terhadap kasus dakwaan mengenai suatu benda (barang), tetapi dalam masalah barang ia harus bersumpah sesuai dengan kasus dakwaannya, demikian pula dalam kasus pembebasan.”
Terdakwa tidak mau menghadiri persidangan
Lain halnya jika si terdakwa yang tidak bisa hadir bersembunyi atau menolak, tidak mau menghadiri persidangan. Maka kadi memutuskan perkara keduanya tanpa menyumpah si pendakwa (penggugat) lagi, karena keduanyan menyepelekan persidangan kasusnya.
Sebagian ulama ada yang mengatakan, “Seandainya orang yang tidak ada di tempat mempunyai wakil yang menghadirinya, maka kasus peradilannya bukan menyangkut orang yang tidak bisa hadir. Untuk itu, sumpah tidak wajib lagi hukumnya.”
Perihalnya sama seandainya seseorang mengajukan gugatan atas suatu kasus, misalnya mengakui seorang anak yang tidak ada walinya, dan mengakui mayat yang tidak mempunyai ahli waris khusus yang hadir, maka dia (penggugat) harus bersumpah seperti keterangan di atas.
Jika ternyata si anak tersebut mempunyai wali khusus atau si mayat mempunyai ahli waris khusus yang hadir lagi berpredikat sempurna, maka kewajiban mengambil sumpah terhadap si penggugat atas dasar permintaan dari pihak wali atau ahli waris yang bersangkutan. Jika si wali atau ahli waris mayat diam, tidak mengambil sumpah terhadap si penggugat, karena tidak mengerti, maka hakimlah yang memberitahukan hal tersebut kepada si wali atau ahli waris. Kemudian bila ternyata si wali atau ahli waris tidak juga mengambil sumpah dari si pendakwa (penggugat), maka hakim memutuskan perkara tanpa sumpah dari penggugat.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani