Perbuatan zina dapat ditetapkan melalui pengakuan sebenarnya lagi terperinci, sama halnya dengan masalah kesaksian, sekalipun hal ini dilakukan dengan isyarat, bagi orang yang bisu, jika dapat dipahami oleh semua orang, walaupun pengakuannya itu hanya sekali.
Dalam pengakuan itu tidak disyaratkan mengulang-ulangnya sampai empat kali. Lain halnya dengan pendapat Imam Abu Hanifah (menurutnya harus diulangi sampai empat kali).
Juga dengan bukti (yakni empat orang saksi) dalam kesaksiannya merincikan wanita yang dizinai, cara memasukkan penis, tempat, dan waktu kejadian. Misalnya, “Aku menyaksikan dia telah memasukkan hasyafah-nya ke dalam farji si Fulanah di tempat anu pada jam sekian dalam hubungan zinanya.”
Seandainya seseorang mengaku telah berbuat zina, kemudian mencabut kembali pengakuannya sebelum diputuskan hukuman had atau sesudahnya dengan ucapan, “aku berdusta,” atau “Aku tidak berzina,” sekalipun sesudahnya ia mengatakan, “sebenarnya aku berdusta dalam pencabutan pengakuanku,” atau “Aku hanya saling menempelkan paha, lalu aku menduganya sebagai perbuatan zina,” sekalipun sikapnya yang dusta itu disaksikan; menurut pendapat yang dianggap kuat oleh ulama, maka hukuman had dapat digugurkan. Lain halnya jika dia hanya mengatakan, “Sebenarnya aku tidak pernah mengakuinya,” karena hal ini hanya semata-mata sanggahan terhadap bukti yang mempersaksikannya. (karena itu, pengakuannya tidak dapat diterima)
Demikian itu karena Nabi saw pernah menawarkan kepada Ma’iz untuk mencabut kembali pengakuannya. Seandainya hal tersebut tidak bermanfaat, niscaya beliau saw tidak akan menawarkan pencabutan itu kepadanya.
Berdasar dalil ini dapat dikatakan bahwa orang yang bersangkutan sunat mencabut kembali pengakuannya.
Disamakan dengan kasus zina dalam hal boleh mencabut pengakuan semua hukuman had yang menyangkut hak Allah swt, seperti dalam kasus minuman khamr dan kasus mencuri bila dipandang dari segi hukum potong tangan.
Akan tetapi, dari pendapat para ulama dapat disimpulkan bahwa “apabila perbuatan zina dapat dibuktikan melalui para saksi, maka pelakunya tidak dapat mencabut kembali pengakuannya (yakni tidak dapat naik banding lagi)”.
Memang demikian keadaannya. Akan tetapi, masih ada kesempatan naik banding lagi yang dapat menggugurkan hukuman had. Hanya, melalui jalur lain, umpamanya pengakuan adanya ikatan suami istri, wanita yang disetubuhi itu adalah budak perempuannya, dan dugaan bahwa wanita yang disetubuhi itu adalah istrinya.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani