Hukuman had menuduh orang lain berbuat zina

Menuduh orang lain berbuat zina merupakan salah satu dari tujuh dosa besar yang membinasakan.

Orang yang menuduh orang lain berbuat zina dikenakan hukuman had dengan sanksi-sanksi hukum jika dia seorang mukallaf, yaitu orang yang dalam keadaan tidak dipaksa lagi mengetahui keharaman perbuatannya. Sedangkan yang dituduh itu adalah seorang yang terpelihara kehormatannya, yaitu orang muslim yang mukallaf lagi merdeka dan tidak berbuat zina dan menyetubuhi liang anus istrinya. Hukumannya adalah delapan puluh kali dera, jika pelakunya adalah seorang yang merdeka. Jika dia sebagai seorang budak, maka hukuman hadnya adalah empat puluh kali deraan.

Tuduhan ini dapat dinyatakan melalui ucapan, “Engkau telah berzina,” atau, “Hai pezina!”, atau “Hai lelaki homoseks!”, atau “Hai tukang homoseks!”, atau “Si Fulan telah menzinaimu,” atau “Hai orang yang suka homoseks,” atau “Hai Homoseks.” Disamakan pula dengan kata-kata dia atas ucapan “Hai pelacur,” yang ditujukan kepada seorang wanita.

Termasuk tuduhan terang-terangan terhadap seorang wanita ialah bila seseorang mengatakan kepada anak wanita tersebut yang dari si Zaid, misalnya, “Engkau bukan anak Zaid,” atau “Engkau bukan dari Zaid.” Tetapi bukan termasuk ke dalam kategori ini apabila seseorang berkata kepada anak laki-lakinya, “Engkau bukan anakku.”

Seandainya seseorang mengatakan kepada anaknya sendiri atau kepada anak orang lain, “Hai anak zina,” maka kalimat tersebut secara tidak langsung merupakan tuduhan zina terhadap ibu si anak yang bersangkutan.

Orang tua seseorang tidak dikenakan hukuman had karena menuduh anaknya sendiri berzina, melainkan hanya dikenakan hukuman ta’zir, seperti halnya tuduhan yang dilakukan oleh orang yang bukan mukallaf.

Seandainya suatu perbuatan zina disaksikan oleh orang-orang yang jumlahnya kurng dari empat orang, baik laki-laki, perempuan, ataupun budak, maka mereka semuanya dikenai hukuman had, yakni hukuman had menuduh berzina.

Akan tetapi, seandainya ada dua orang saling menuduh berzina terhadap lawannya, maka keduanya tidak dikenakan hukuman had.

Orang yang menuduh berzina berhak menyumpah orang yang dituduhnya untuk menyatakan bahwa sesungguhnya dia sama sekali tidak berbuat zina.

Hukuman had menuduh orang lain berzina dapat digugurkan karena ada pemaafan dari orang yang dituduhnya atau dari ahli waris yang memperoleh warisan harta peninggalannya.

Orang yang dituduh berbuat zina tidak boleh main hakim sendiri dengan menjatuhkan hukuman had terhadap si penuduh.

Tiada larangan bagi seorang suami, bila terpaksa, menuduh istrinya berbuat zina, jika memang si suami mengetahui perbuatan zina istrinya itu dilakukan ketika masih dalam ikatan nikah dengannya, sekalipun tuduhan itu berdasarkan dugaan yang kuat disertai dengan tanda-tanda yang menunjukkan ke arah itu. Umpamanya si suami pernah melihat istrinya berduaan dengan lelaki lain di tempat sunyi. Atau si suami melihat lelaki lain keluar dari rumah si istri, sedangkan berita telah tersebar di kalangan orang banyak bahwa lelaki tersebut sering berzina dengan istrinya. Atau berdasarkan berita dari seseorang yang dapat dipercaya bahwa dia pernah melihat lelaki itu berbuat zina dengan istrinya. Atau si suami itu sendiri sering melihat keduanya melakukan hal tersebut berkali-kali.

Seseorang diwajibkan untuk tidak mengakui si bayi sebagai anaknya jika ia merasa yakin bahwa bayi tersebut lahir bukan dari hasil hubungan dengannya (melainkan dengan lelaki lain).

Manakala dari hubungan istrinya itu tidak menghasilkan anak yang nantinya harus tidak diakuinya, maka sebaiknya si suami menutupi perbuatan istrinya; dan jika benci terhadapnya, ia boleh menceraikannya. Tetapi jika ia masih mencintai, ia boleh tetap memegangnya sebagai istri, karena ada sebuah hadis sahih yang menceritakan:

Bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi saw, lalu ia berkata, “Istriku tidak pernah menampik tangan lelaki lain yang menyentuhnya.” Nabi saw bersabda, “Ceraikanlah dia!” lelaki itu berkata, “Sesungguhnya aku masih mencintainya.” Nabi saw bersabda, “Peganglah dia sebagai istrimu.”

Membalas caci maki

Apabila seseorang mencaci maki orang lain, maka orang yang dimakinya diperbolehkan membalas memaki sesuai dengan makian yang ditujukan kepadanya tanpa melebih-lebihkan dan tanpa ada makian yang mengandung tuduhan berzina. Sebagai contoh ialah kata-kata seperti, “Hai si zalim,” atau “Hai orang yang dungu.”

Akan tetapi, orang yang dimaki tidak boleh membalas memaki dengan mencaci ayah dan ibu orang yang dimakinya.

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Related Posts