Apabila harta suami yang ada pada si istri telah habis, sedangkan si istri bermaksud ingin mem-fasakh nikah karena si suami tidak ada di tempat, hartanya pun sudah habis, maka jika tiada seorang pun yang mengetahui bahwa harta si suami sudah habis, pihak istri boleh menyatakan bahwa suaminya dalam keadaan kesulitan dan tidak punya harta lagi yang berada di tempat tinggalnya serta tidak pula meninggalkan nafkah. Selain itu si istri harus membuktikan kemiskinan suaminya dan bersumpah bahwa suaminya tidak berharta lagi dan tidak pula meninggalkan nafkah. Hendaknya ia berniat bahwa yang dimaksud dengan tidak meninggalkan nafkah ialah ketiadaan nafkah di saat itu. Maka barulah si istri boleh mengajukan fasakh disertai dengan persyaratan yang telah disebutkan.
Tetapi apabila ada seseorang yang mengetahui bahwa harta suami belum habis, maka di samping yang telah disebut di atas, si istri harus mengemukakan bukti yang menunjukkan bahwa harta suaminya benar-benar telah habis.
Menurut pendapat yang dapat dipegang, si istri tidak boleh meminta fasakh karena suaminya yang kondisi ekonominya termasuk orang kaya atau orang menengah, tidak mau memberi nafkah, baik ia berada di tempat ataupun sedang tidak ada di tempat, tetapi beritanya masih ada dan tidak terputus.
Apabila berita suami terputus, sedangkan si suami tidak mempunyai harta yang berada di tempat tinggalnya, pihak istri diperbolehkan meminta fasakh karena halangan yang menghambat kewajiban terhadapa pihak istri tidak dapat ditunaikan, sebab berita si suami terputus sama kedudukannya dengan halangan karena si suami jatuh miskin.
Demikian menurut apa yang telah ditetapkan oleh Syeikh Zakaria. Tetapi muridnya, berpendapat berbeda. Sedangkan menurut sejumlah ulama yang cukup banyak dari kalangan ulama ahli tahqiq muta-akhkhirin sehubungan dengan masalah suami yang tidak ada di tempat lalu si istri sulit mendapat nafkah darinya, mereka lebih memilih si istri boleh fasakh.
Pendapat di atas diperkuat oleh Ibnu Shalah, dan ia mengatakan di dalam kitab Fatawi-nya’ Apabila nafkah sulit direalisasikan karena tidak ada harta di tempat, sedangkan pihak istri tidak berkemampuan untuk mengambil sebagian darinya melalui surat dari hakim atau cara lainnya, mengingat tempat harta si suami berada masih belum diketahui, atau sudah diketahui tempat tetapi sulit bagi si istri menuntutnya. Dalam memutuskan kasus seperti ini tidak pandang bulu apakah keadaan suami diketahui kaya, miskin atau tidak, maka pihak si istri boleh mem-fasakh nikahnya melalui hakim.
Fatwa yang menganjurkan si istri boleh melakukan fasakh nikah merupakan pendapat yang sahih.
Al-‘Allamah Al-Muhaqqiq Aththan Badawi di dalam kitab fatwa-fatwanya mengatakan bahwa pendapat yang kami pilih mengikut kepada para imam ahli tahqiq. Yaitu apabila pihak suami tidak berharta, seperti yang dijelaskan di atas, maka pihak istri boleh mengajukan fasakh, sekalipun menurut pengertian lahiriah mazhab Syafii berpendapat berbeda.
Dikatakan demikian karena berdasarkan firman Allah swt dalam surat Al Hajj ayat 78, “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.”
Juga berlandas kepada sabda Nabi saw, “Aku diutus membawa ajaran agama yang cenderung kepada perkara hak lagi penuh dengan toleransi (kemudahan).”
Dan karena mengingat pokok masalah yang membolehkan fasakh karena adanya kemudaratan, dan tidak diragukan lagi bahwa mudarat itu memang menimpa diri si istri, sebab istri tidak mungkin dapat meraih nafkah dari suami (yang keadaannya seperti di atas), sekalipun keadaan si suami sesungguhnya adalah kaya. Mengingat rahasia yang terkandung di balik fasakh ialah mudarat yang menimpa istri, sedangkan mudarat memang ada dalam masalah ini, terlebih lagi keadaan si istri dalam kesulitan. Dengan demikian, halangan yang menghambat sampainya nafkah dihukumi dengan keadaan suami yang sedang kesulitan (jatuh miskin).
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani