Ketidakmampuan si suami dalam menanggulangi hal-hal yang berkaitan dengan memberi nafkah dan pakaian dalam batas minimal, serta memberi tempat tinggal dan membayar maskawin, dapat dibuktikan manakala harta suami berada di tempat lain sejauh perjalanan qashar. Untuk itu, pihak istri tidak usah menunggu dengan sabar kecuali jika si suami mengatakan, “Aku sanggup mendatangkannya sampai batas maksimal penantian,” yakni tiga hari.
Atau karena pembayaran piutangnya yang ada pada orang lain ditangguhkan, sedangkan harta orang yang berutang berada di tempat lain sejauh perjalanan qashar.
Atau dapat pula dinyatakan manakala tempo pembayaran piutangnya sudah tiba saatnya, tetapi orang yang berutang kepadanya dalam keadaan miskin (kesulitan), sekalipun yang berutang itu adalah istri sendiri. Dikatakan demikian karena si istri di saat jatuh miskin sudah barang tentu tidak dapat memperoleh haknya (mengingat pembayaran si suami bergantung kepada pembayaran utangnya), sedangkan hal yang dilakukan terhadap orang yang dalam kesulitan ialah hendaknya ditunggu sampai masa kemudahan tiba.
Dapat pula dibuktikan bila si suami yang pekerja tidak mendapatkan orang yang mempekerjakannya, jika pada umumnya memang mencari pekerjaan sangat sulit.
Atau karena adanya hambatan-hambatan yang menghalang-halangi si suami untuk dapat bekerja seperti biasanya.
Demikianlah penjelasan dari kami, mudah-mudahan uraian di atas walaupun singkat bisa bermanfaat bagi kita semua, baik di dunia maupun di akhirat.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani