Cara untuk mengembalikan hak nafkah istri adalah, hakim tempat istri berada hendaknya berkirim surat kepada kadi tempat suami berada yang isinya membuktikan bahwa si istri telah kembali taat kepada suaminya dengan sepengetahuan hakim.
Apabila si suami telah mengetahui hal itu, lalu ia kembali, atau mengirimkan seorang utusan untuk menerima kembalinya si istri, atau si suami tidak mengadakan reaksi jawaban apa pun tanpa alasan, maka si istri berhak kembali menerima nafkah.
Kesimpulan pendapat Imam Syafii dalam qaul qadim menyatakan bahwa nafkah kembali lagi kepada si istri di saat si istri kembali taat kepada suaminya. Dikatakan demikian karena hal yang mewajibkan nafkah menurut qaul qadim ialah akad nikah, bukan penyerahan diri si istri kepada suami. Pendapat ini dikatakan pula oleh Imam Malik.
Nusyuz si istri karena murtad
Para ulama memberikan penjelasan bahwa nusyuz si istri karena murtad, hak memperoleh nafkahnya hilang secara mutlak, tetapi hak nafkah istri kembali lagi bila dia masuk islam (sekalipun tanpa serah terima) secara mutlak, karena penyebab yang menggugurkan sudah tidak ada lagi (yaitu dengan kembalinya si istri masuk islam).
Berdasarkan pendapat di atas, Al Adzru’i mengambil kesimpulan bahwa seandainya si istri nusyuz di dalam rumah dan tidak mau keluar dari rumah, sedangkan si istri menolak berserah diri kepada suami. Lalu si suami bepergian meninggalkannya, ternyata kemudian si istri kembali taat kepada suaminya, maka hak nafkahnya kembali tanpa perantaraan kadi. Menurut pendapat yng paling sahih dikatakan hal yang sama.
Istri menuntut nafkah melalui kadi
Seandainya seorang istri yang suaminya tidak ada di tempat menuntut sejumlah nafkah dari suaminya melalui kadi, maka disyaratkan hendaknya ikatan nikah masih ada dan si istri tinggal di rumah si suami. Hendaknya si istri bersumpah bahwa ia berhak mendapat nafkah dari suaminya, dan ia belum menerima sejumlah apa pun untuk nafkah selama ditinggalkan suami. Dalam keadaan seperti ini kadi menentukan untuknya sejumlah nafkah yang dibebankan kepada suami yang miskin, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa suami adalah orang yang mampu (kaya).
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani