Ath-Thalaq menurut istilah bahasa artinya “melepaskan ikatan”, sedangkan menurut istilah syara’ artinya “melepaskan ikatan nikah dengan lafaz yang akan disebut kemudian.”
Dalil asal mengenai talak ini sebelum adanya ijma’ ialah dari Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 229, “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali.”
Makna yang dimaksud ialah, bilangan talak yang dapat dirujuk sesudahnya adalah dua kali. Tetapi hal ini tidaklah bertentangan dengan yang menyatakan tiga kali. Nabi saw pernah ditanya, “Manakah talak yang ketiganya?” Nabi saw menjawab, “Aku menceraikannya dengan cara yang baik.”
Karena itulah Allah swt berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 230:
Kemudian jika si suami menceraikannya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Dalil lainnya ialah dalam surat Ath Thalaq ayat 1:
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).
Adapun dalil dari sunnah antara lain seperti sabda Nabi saw:
Jibril datang kepadaku, lalu mengatakan, “Rujukilah Hafshah, sesungguhnya dia adalah wanita yang berpuasa lagi gemar salat, dan sesungguhnya dia adalah istrimu di dalam surga.”
Talak adalah lafaz (kata) jahiliyah, lalu syariat islam datang dan mengakuinya, karenanya ia bukan merupakan kekhususan dari umat ini. Dengan kata lain, dahulu orang-orang jahiliyah menggunakannya untuk melepaskan keterikatan pula; hanya mereka tidak membatasinya sampai tiga kali.
Di dalam Tafsir Ibnu Adil disebutkan Urwah ibnuz Zubair pernah mengatakan bahwa dahulu di masa jahiliyah orang-orang menceraikan (istri-istrinya) tanpa batas dan tanpa bilangan. Seorang lelaki dari kalangan mereka dapat saja menceraikan istrinya. Apabila masa iddah istrinya hampir habis, maka ia merujuknya, kemudian menceraikannya kembali, lalu merujuknya kembali, demikianlah seterusnya dengan tujuan menimpakan mudarat terhadap wanita. Kemudian turunlah firman Allah swt surat Al Baqarah ayat 299:
Talak (yang dapat dirujuk) dua kali.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani