Dalam ta’liq tidak disyaratkan adanya kabul

Tidak disyaratkan dalam masalah ta’liq adanya kabul secara lafzi dan tidak pula penyerahan yang diminta dengan seketika, melainkan penyerahan dapat dilakukan sekalipun sesudah kedua belah pihak berpisah dari majelisnya. Dikatakan demikian karena pernyataan ta’liq sudah jelas menunjukkan semua waktu tanpa batas.

Diwajibkan menjawab seketika dalam menanggapi ucapan istri, “Bila engkau menceraikanku, maka kuberi engkau sekian,” tiada lain karena kebanyakan pernyataan dari pihak istri mengandung pengertian mu’awadhah, yakni permintaan barter. Untuk itu jika si suami tidak menanggapinya dengan spontan, maka dimasukkan ke dalam pengertian memulai talak, mengingat pihaknya mampu untuk menjawab dengan seketika (tanpa tenggang waktu).

Tetapi jika ta’liq yang diajukan oleh pihak suami mengandung pengertian negatif, seumpamanya dia mengataTetapi jika ta’liq yang diajukan oleh pihak suami mengandung pengertian negatif, seumpamanya dia mengatakan kepada istrinya, “Jika kamu tidak memberiku seribu anu, berarti engkau terceraikan,” berarti menunjukkan pengertian jawaban seketika. Untuk itu, si istri terceraikan dengan berlalunya masa waktu yang memungkinkan bagi si istrri untuk mengabulkan permintaan suaminya, tetapi si istri masih belum memberinya juga.

Disyaratkan hendaknya pemberian (pihak istri) dilakukan seketika di dalam majelis penentuan. Dengan kata lain, hendaknya antara ijab dan kabul tidak diselingi oleh pembicaraan apa pun, atau diam tidak menjawab dalam waktu yang cukup lama menurut ukuran tradisi. Jawaban tersebut dilakukan oleh wanita merdeka yang ada di tempat atau yang tidak ada di tempat, tetapi telah mengetahuinya. Yaitu dalam kasus suami mengataakan kepadanya, “Jika atau bila engkau memberiku sekian, berarti engkau telah terceraikan.” Dikatakan demikian karena pengertia lafaz (teks) menunjukkan adanya permintaan tebusan.

Ketentuan di atas berbeda jika ungkapan si suami memakai kata mataa (kapan saja), mengingat maknanya sudah jelas menunjukkan boleh menangguhkan. Hanya saja dalam kasus ini si suami tidak boleh mencabut kembali ucapannya sebelum terealisasikan objek yang dimintakan, dan tidak disyaratkan pula adanya kabul secara lafzi (dari pihak istri, bahkan cukup dengan realisasinya saja).

Menggunakan kata “ibra” hukumnya sama dengan menggunakan kata ‘I’tha”

Menggunakan kata ibra’ (pembebasan) dalam masalah yang telah di sebut di atas (yakni disyaratkan adanya jawaban seketika), sama hukumnya dengan kata i’tha (memberikan). Untuk itu, dalam kasus perkataan seorang suami, “Jika engkau membebaskan aku,” mka pihak istri harus menjawabnya dengan seketika, yakni dengan ungkapan ibra’ (pembebasan) yang dibenarkan, sesudah si istri mengetahuinya. Jika si istri tidak menjawabnya dengan seketika, maka talak (yang digantungkan dngan ibra’) tidak jadi.

Sedangkan fatwa yang dinyatakan oleh sebagian ulama, yaitu bahwa talak terhadap wanita yang tidak di tempat tetap terjadi secara mutlak, mengingat si suami tidak berbicara kepada istrinya untuk meminta tebusan. Pada kenyataannya pendapat tersebut bertentangan dengan pendapat kebanyakan ulama.

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Scroll to Top