Menggilir istri hukumnya wajib, selain istri yang berada dalam iddah karena wathi’ syubhat, sebab seorang suami tidak boleh melakukan khalwat dengan istri yang keadaannya demikian. Tidak wajib menggilir istri yang belum balig karena masih belum kuat untuk di ajak bersenggama.
Tidak pula terhadap istri yang membangkang tidak mau taat, misalnya dia keluar dari rumah tanpa seizinnya, atau dia menolak di ajak bersenang-senang, atau menutup pintu di hadapan suami, sekalipun dia gila.
Dan tidak wajib pula menggilir istri yang tengah bepergian sendirian untuk keperluannya, sekalipun dengan seizin suami.
Terhadap istri yang tergolong di antara mereka, tidak wajib menggilir mereka, sebagaimana tidak wajib pula memberinya nafkah.
Halal menghentikan giliran
Al Adzru’i dalam nukilannya yang bersumber dari kitab Tajzi’ah Ar Rauyani mengatakan bahwa seandainya seorang suami merasa jelas atas perbuatan zina istrinya, dihalalkan baginya menghentikan giliran dan hak-haknya, agar ia meminta khulu’ (minta cerai dengan membayar tebusan) kepadanya. Demikian yang disebutkan di dalam kitab Al Umm, salah satu di antara kedua pendapatnya yang sahih.
Hal tersebut, yakni halal bagi suami menghentkan giliran terhadapnya dan hak-haknya, jika dia (Ar Rauyani) bermaksud bahwa sikap tersebut boleh dilakukan oleh si suami dalam batinnya (secara diam-diam) sebagai hukuman terhadap si istri, karena dia telah mengotori firasy (hamparan)nya.
Jika si suami melakukan hal tersebut secara terang-terangan, maka tuduhan yang ia lancarkan terhadap istrinya itu tidak dapat diterima, sekalipun si suami dapat membuktikan perbuatan zina istrinya, tidak boleh bagi kadi mengizinkan si suami melakukan hal tersebut (yakni tidak menggilir dan tidak memberinya nafkah), menurut pendapat yang kuat.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani