Pencabutan kembali hibah tidak dapat dilakukan jika hak milik anak telah lepas dari hibah orang tuanya karena dia hibahkan lagi kepada pihak lain dan diterima oleh pihak yang menerima hibah tersebut. sekalipun hibah tersebut diberikan oleh anak kepada cucu atau kepada saudara seayahnya, atau anak telah menjualnya, sekalipun kepada pemberi hibah sendiri; atau hak miliknya telah lepas karena telah dia wakafkan.
Pencabutan kembali hibah tidak dapat dilakukan bila objeknya telah lepas dari pemilikan anak yang bersangkutan, sekalipun barang tersebut telah kembali menjadi miliknya, sekalipun cara pengembalian hak milik tersebut karena pembatalan transaksi atau dikembalikan karena ada cacat. Dikatakan demikian karena hak milik yang kedua kalinya ini bukan dihasilkan dari hibah orang tuanya.
Seandainya anak menghibahkan kembali barang hibah orang tuanya itu kepada anak laki-lakinya, lalu diterimanya dan dicabut kembali, maka ada dua pendapat sehubungan dengan pencabutan yang dilakukan oleh penghibah pertama, yakni ayah. Menurut pendapat yang paling beralasan kuat dari kedua pendapat tersebut, pihak penghibah pertama (ayah) tidak dapat mencabut kembali hibahnya karena hak milik anaknya telah lepas (dengan menghibahkannya kembali kepada cucu penghibah pertama), kemudian kembali lagi.
Dilarang pula mencabut kembali hibah jika barang hibah itu telah berurusan dengan hak yang ditunaikan, misalnya barang hibah digadaikan bukan kepada orang tua dan telah dilakukan serah terima serta masih belum terlunaskan hutangnya.
Demikian pula jika barang yang dihibahkan telah berubah bentuk, misalnya telur (yang dihibahkan) telah menetas, atau biji-bijian (yang dihibahkan) telah tumbuh. Dikatakan demikian karena barang yang dihibahkan seakan-akan telah digunakan.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani