Dalam wakalah tidak disyaratkan kabul secara lafzi, melainkan disyaratkan tidak ada tolakan.
Seseorang yang tidak mengetahui dirinya sebagai wakil melakukan suatu tasharruf
Seandainya seseorang tidak mengetahui bahwa sebenarnya dirinya adalah seorang wakil, lalu dia melakukan suatu tasharruf (pengelolaan), maka tasharrufnya dianggap sah jika perwakilannya memang telah jelas di saat ia melakukan tasharruf itu. Perihalnya sama dengan seseorang yang menjual harta orang tuanya yang ia duga masih hidup, tetapi ternyata orang tuanya ia telah meninggal dunia (maka jual belinya sah).
Menggantungkan wakalah dengan syarat
Tidak sah menggantungkan wakalah dengan syarat, umpamanya dikatakan, “Apabila bulan ramadhan tiba, maka aku telah mewakilkan kepadamu untuk menyelesaikan anu.”
Seandainya wakil melakukan tasharruf sesudah syarat yang bergantung telah tiba masanya, misalnya dia menerima perwakilan untuk menceraikan seorang istri yang kelak akan dinikahinya, atau menjual budak yang kelak akan dia miliki, atau mengawinkan anak perempuan pemberi wakil bila telah dicerai dan telah menunaikan masa iddah. Kemudian dia menjatuhkan talak sesudah nikah, atau menjual budak sesudah memilikinya, atau menikahkan sesudah selesai dari iddahnya. Maka semua itu sah karena mengamalkan keumuman perizinan, sekalipun kita katakan akad perwakilannya tidak sah bila dikaitkan dengan gugurnya upah yang telah ditentukan jika dipersyaratkan, dan yang wajib dibayar hanyalah upah sepantasnya.
Yang dianggap sah hanyalah menggantungkan pen-tasharruf-annya saja, seperti dikatakan, “Jualkanlah, tetapi sudah lewat masa satu bulan.” Sebagaimana dianggap sah pula membrikan masa berlaku wakalah, umpamanya dikatakan, “Aku wakilkan kepadamu sampai bulan ramadhan.”