Waktu yang afdhal atau paling baik untuk bersedekah

Memberi sedekah pada bulan ramadhan, terutama pada sepuluh hari yang akhir, lebih afdhal, dan sunat muakkad lagi pada waktu-waktu dan tempat-tempat yang afdhal, seperti pada tanggal 10 zulhijjah, dua hari raya (idul fitri dan idul adha), hari jumat, di Mekah, dan di Madinah.

Memberi sedekah kepada kerabat yang tidak wajib memberi nafkahnya lebih utama (misalnya saudara bapak, ibu, atau saudara misan), lalu kepada kerabat paling dekat, kerabat yang paling dekat dari mahram, suami atau istri (selebihnya nafkah wajib), kemudian yang bukan mahram (seperti anak paman atau bibi).

Saudara dari pihak bapak dan ibu sama saja, lalu mahram sesusu, kemudian mertua, lebih utama.

Sesudah memberi sedekah kepada kerabat, memberi kepada tetangga lebih utama daripada yang lainnya. Dapat diketahui, sesungguhnya kerabat yang jauh rumahnya dari negeri (kampung) lebih utama daripada memberi tetangga yang bukan kerabat.

Tidak sunat menyedekahkan harta yang dibutuhkan, bahkan haram menyedekahkan harta untuk nafkah dan biaya orang yang wajib dinafkahinya selama sehari semalam atau untuk membayar utangnya, sekalipun utang yang ditangguhkan dan yang berpiutang itu tidak menagihnya selama tidak mempunyai sangkaan yang kuat akan mendapatkan penghasilan dari jalan lain yang telah jelas (pasti), sebab amal yang wajib tidak boleh ditinggalkan karena pekerjaan sunat.

Bila hukum sedekah ada yang diharamkan dengan sesuatu, maka orang yang diberinya tidak berhak memiliki barang yang disedekahkan itu, menurut pendapat Syaikhuna ahli tahqiq, Ibnu Ziyad rahimahullah. akan tetapi, menurut penetapan Ibnu Hajar dalam kitab Minhaj, yang menerimanya itu berhak memiliki yang disedekahkannya  (meskipun sedekahnya haram).

Menyebut-nyebut kebaikan sedekah itu hukumnya haram (sehingga dapat) melebur pahalanya seperti halnya menyakiti hati orang yang diberi.

Allah swt berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 264, “Janganlah kamu membatalkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebut kebaikan dan menyakiti hati yang diberinya.”

Imam Nawawi dalm kitab Majmu’ berkata, “Makruh menerima barang dari irang yang pada tangannya ada barang haram dan halal (bercampur), seperti dari pejabat yang zalim. Perbedaan kemakruhan itu dengan sedikit dan banyaknya syubhat.”

Tidak haram menerimanya, kecuali jika yakin bahwa yang disedekahkannya itu dari barang haram.

Sedangkan menurut Imam Ghazali, “Haram menerima pemberian dari orang yang hartanya kebanyakan adalah barang haram, demikian pula yang muamalahnya menyalahi aturan.”

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Scroll to Top