Luqman sudah berkata kepada putranya Tsaran: Hai anakku, sebenar-benarnya hikmah itu adalah mengerjakan sepuluh perkara, yaitu:
- Menghidupkan hati yang mati.
- Berkumpul dengan orang miskin.
- Menjaga atau menjauhi berkumpul dengan raja (penguasa)
- Memulyakan yang rendah, artinya meninggikan terhadap yang jatuh, yang tidak ada harganya.
- Memerdekakan ‘abid (budak).
- Kamu menerima orang yang mengembara (menempatkan orang yang jauh dari kampungnya di rumah).
- Kamu menolong orang yang faqir, dengan hartamu.
- Dan kamu menambah-nambah ahli mulya terhadap kemulyaannya, bahwa melembutkan kamu ke ahli syaraf (mencintai)
- Dan menambah-nambah kepada pemimpin terhadap kepemimpinannya, dengan cara memulyakannya.
- Diriwayatkan bahwa sudah berkumpul Imam Kisai dan Imam Zaidi di depan Harun ar Rasyid. Kemudian Imam Kisai shalat maghrib, ketika sedang membaca surat al Kafirun, Imam Zaidi berkata, ‘Qari/ahli baca Al Qur’an, ahli Kufah dalam surat al Kafirun.’ Lalu Imam Zaidi shalat isya, dalam surat alhamdu, ketika salam, maka berkata Imam Kisai dari nadham bahar kamil, ‘Harus menjaga kamu terhadap lisanmu dari berucap suatu omongan, maka jadi sebab kamu mendapat musibah. Sebenar-benarnya musibah itu terserah apa yang diucapkan oleh kamu.
Sepuluh perkara/kelakuan diatas lebih utama daripada harta benda, dan menjadi penjaga atau benteng dari rasa takut, dan menjadi persiapan/perbekalan dalam peperangan, dan menjadi barang dagangan ketika untung.
Sepupuh perkara diata juga akan menjadi syafaat/menolong seseorang ketika tiba masa kesulitan, artinya menjadi manfaat ketika seseorang mendapatkan suatu hal yang mengagetkan.
Sepuluh perkara diatas juga yang menunjukkan ketika datang mati kepada badannya seseorang (manusia), yaitu menjadi penutup ketika pakaiannya tidak menutupi. Nah, waktu tersebut adalah hari kiamat.
Rasulullah saw bersabda, “Akan dikumpulkan orang-orang di hari kiamat dengan tanpa alas kaki, bertelanjang, dahaga, dan bingung tentang kedahsyatan kiamat, tidak tahu lelaki ke perempuan dan sebaliknya (maksudnya antara suami istri).”
Sumber: Kitab Nashaihul ‘ibaad karangan Syeikh Muhammad Nawawi bin ‘umar