Yang membatalkan wudhu ada 4 hal, yaitu:
Pertama, nyata ada sesuatu yang keluar, kecuali air mani. Yang keluar itu misalnya kotoran perut atau kentut, basah atau kering yang bisa dikeluarkan, misalnya air kencing; atau yang tidak biasa dan jarang, misalnya darah wasir atau yang lainnya; berpisah atau tidak, misalnya cacing hidup yang mengeluarkan kepalanya lalu masuk lagi dari salah satu lubang anggota tubuh orang yang berwudhu, baik dari lubang belakang atau depan, walaupun yang keluar itu sejenis wasir yang tumbuh di dalam dubur, atau sebagai kelanjutan dari yang sudah keluar sebelumnya. Dan keluarnya itu ketika berwudhu.
Akan tetapi menurut fatwa Syeikh Kamarud raddad, bila yang keluarnya itu zat wasirnya, maka tidak membatalkan wudhu. Sebaliknya, bila yang keluar adalah darah dari wasirnya, maka batallah wudhu. Menurut Imam Maliki, keluar sesuatu yang langka terjadi (seperti keluar cacing dan sebagainya) tidak membatalkan wudhu.
Kedua, Hilang akal karena mabuk , gila, pingsan, atau tidur, berdasarkan hadis shahih, “Barang siapa yang tidur, harus berwudhu.”
Kecuali hilang akal karena mengantuk dan pusing sebelum mabuk. Kedua hal tersebut tidak membatalkan wudhu. Demikian pula halnya bila ia ragu apakah tertidur atau mengantuk. Diantara tanda mengantuk ialah masih mendengar suara orang yang berada di dekatnya, walaupun tidak mengerti maksudnya.
Orang yang tertidur sambil duduk, sekalipun bersandar pada suatu tempat sehingga kalau terlepas sandarannya ia terjatuh, atau duduk seraya memeluk betisnya tanpa mengubah posisi duduknya, hal itu tidak membatalkan wudhu. Tetapi wudhunya batal jika di kala ia bangun posisinya bergeser dari tempat duduk semula.
Seseorang yang merasa ragu apakah posisinya bergeser atau tidak sebelum atau sesudah ia bangun, serta yakin bermimpi tetapi tidak yakin tertidur dengan pulas, maka hal-hal tersebut diatas tidak membatalkan wudhu. Berbeda dengan masalah mimpi yang tidurnya diragukan, (maka membatalkan wudhu), karena mimpi itu memberatkan pada salah satu pihak yang meragukan, yaitu tidur.
Ketiga, menyentuh farji (kemaluan) atau menyentuh tempatnya (jika farji itu) terpotong, walaupun farji orang yang sudah meninggal atau anak kecil. Baik farji bagian depan (qubul) atau belakang (dubur) yang masih bersambung atau terputus, kecuali memegang daging seseorang yang sudah dikhitan (tidak membatalkan wudhu).
Bagian belakang (dubur) yang dapat membatalkan wudhu adalah kulit yang mengitari lubang. Sedangkan bagi wanita adalah tempat bertemunya kedua bibir di atas lubang vagina. Selain yang disebutkan tadi, tidak membatalkan wudhu, misalnya menyentuh tempat khitannya.
Betul demikian, tetapi disunatkan wudhu bagi orang yang menyentuh sejenis rambut kelamin yang tumbuh di bawah perut dan bagian dalam dubur. Begitu pula (apabila) menyentuh dua buah pelir, rambut kelamin yang tumbuh diatas dzakar dan farji, pangkal paha, amrad (laki-laki cantik yang dicintai seperti mencintai perempuan), menyentuh seseorang yang berpenyakit kusta, orang yahudi, seseorang yang sudah diambil darahnya, melihat perempuan dengan syahwat walaupun mahram, mengucapkan perkataan kotor sesudah atau sedang marah, mengangkat mayat atau memegangnya, memotong kuku atau kumis, dan mencukur rambut.
Kecuali dari kalimat “Adami” adalah memegang kelamin binatang (tidak membatalkan wudhu), sebab tidak diingini (biasanya). Oleh sebab itu, boleh melihatnya. Batal menyentuh farji itu bila menggunakan telapak tangan, sebagaimana sabda Nabi saw, “Barang siapa yang memegang farjinya,” dalam riwayat lain, “Barang siapa yang menyentuh dzakarnya, harus berwudhu.” (Riwayat Bukhari Muslim)
Yang dimaksud telapak tangan adalah telapak kedua tangan, jari bagian dalam dan sisinya ketika kedua telapak tangan dan jari itu dirapatkan serta ditekan sedikit. namun, bagian dalam ujung jari diantara jari-jari itu serta bagian pinggir telapak tangan tidak termasuk.
Keempat, bertemu dua kulit, yaitu kulit laki-laki dan perempuan (tanpa penghalang), walaupun tanpa syahwat, dan sekalipun salah seorang di antara keduanya dalam keadaan dipaksa; atau sekalipun menyentuh mayat, tetapi hal itu tidak membatalkan wudhu mayat.
Yang dikamsud dengan kulit disini adalah selain rambut, gigi, dan kuku. Ada yang berpendapat, “Selain mata sebelah dalam.” Yang demikian itu karena berdasarkan firman Allah swt, “Atau kamu telah menyentuh perempuan.” (An Nisa ayat 43)
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani