Wali nikah itu adalah ayah. Jika ayah tidak ada karena meninggal dunia atau faktor lainnya yang menghambat menurut syara’, maka ayahnya ayah (kakeknya) dan seterusnya sampai ke atas. Untuk itu, keduanya, yakni ayah dan kakek, boleh menikahkan (secara berurutan) sekiranya tidak ada permusuhan yang jelas (di antara orang tua dan anaknya), yakni mengawinkan anak perawan atau anak gadisnya yang tidak perawan lagi karena ulah sesuatu seperti terkoyak oleh jari tangan, sekalipun tanpa persetujuan darinya.
Hak wali atas anak gadisnya
Untuk mengawinkan anak perawan atau anak gadis yang tidak perawanlagi, tidak disyaratkan adanya persetujuan dari yang bersangkutan, baik ia telah berusia balig ataupun belum, mengingat kasih sayang wali di atas terhadapnya tak diragukan lagi. Juga karena ada sebuah hadis riwayat Imam Daruquthni yang mengatakan:
Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya, sedangkan perawan dikawinkan oleh ayahnya.
Tetapi dengan syarat hendaknya ia dikawinkan kepada lelaki yang sekufu’ (seimbang dengannya), yakni mampu membayar mahar mitsil-nya.
Seandainya wali mujbir, yakni ayah atau kakek mengawinkan dia bukan dengan lelaki yang seimbang, mka nikahnya tidak sah.
Demikian pula seandainya wali mengawinkannya dengn lelaki yang tidak mampu membayar maskawinnya. Demikianlah pendapat yang dipegang Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.
Akan tetapi, menurut pendapat yang dipilih oleh segolongan ulama ahli tahqiq, nikah sah dalam kasus yang kedua (yakni dikawinkan dengan lelaki yang tidak mampu membayar maskawinnya).
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani