Budak, anak kecil dan orang gila tidak boleh menjadi wali
Tugas menjadi wali tidak boleh diberikan kepada budak, baik yang murni ataupun yang sebagian, karena ia kurang memenuhi persyaratan untuk menjadi wali. Tidak boleh pula kepada anak kecil dan orang gila karena faktor yang sama, yaitu kurang memenuhi persyaratan menjadi wali.
Orang gila yang sering kambuh tidak boleh menjadi wali
Seandainya seseorang berpenyakit gila yang sering kambuh, tetapi masa sakitnya menyita sebagian besar waktunya hingga hak wali dicabut darinya, maka kerabat yang jauh diperbolehkan menikahkan selama wali yang gila itu sedang kambuh penyakitnya (tetapi hanya selagi si wali sakit) dan tidak usah menunggu sampai ia sadar.
Memang benar boleh digantikan. Jika masa sakitnya itu pendek, umpamanya satu hari dalam setahun, maka harus ditunggu sampai ia sadar (dan kewaliannya tidak boleh diganti oleh orang lain).
Orang yang sakit parah dan orang pikun tidak boleh menjadi wali
Disamakan dengan orang gila, yaitu orang sakit yang tidak dapat memikirkan kemaslahatan karena menderita sakit parah, atau orang yang pemikirannya tidak seimbang lagi disebabkan faktor usia yang terlalu tua (pikun), dan juga orang yang ingatannya tidak sehat lagi setelah sadar dari sakit gila hingga berpengaruh pada sepak terjangnya.
Hak menjadi wali bagi orang-orang selain dari orang yang berpredikat fasik, budak, anak kecil, dan orang gila harus dipindahkan kepada wali yang jauh (hubungan kekerabatannya), bukan kepada wali hakim, sekalipun diketengahkan dalam bab “wala”.
Untuk itu, seandainya seseorang memerdekakan seorang budak perempuan, lalu ia meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak lelaki yang masih kecil dan seorang saudara lelaki yang tertua, maka hak wali (dari budak perempuan tersebut) berada pada saudara yang tertua, bukan hakim. Demikianlah menurut pendapat yang bisa dijadikan pegangan.
Wanita tidak boleh menjadi wali
Wanita tidak berhak menjadi wali. Untuk itu, seorang wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri sekalipun dengan seizin (persetujuan) walinya. Tidak ada pula hak menjadi wali bagi anak-anak perempuannya. Dalam masalah ini Imam Abu Hanifah berpendapat berbeda.
Pengakuan seorang wanita mengenai pernikahannya dengan lelaki yang membenarkan pengakuan tersebut dapat diterima, sekalipun wali dari si wanita mendustakannya. Demikian itu karena ikatan pernikahan merupakan hak keduan mempelai yang bersangkutan, maka dapat dikukuhkan dengan adanya pembenaran dari kedua belah pihak yang bersangkutan.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani