Wasiat buat tiap ahli waris (dengan ketentuan seperti yang disebutkan di atas) dalam jumlah yang sebanding dengan bagiannya, misalnya setengah atau sepertiga, tidak ada artinya, sebab hal tersebut dapat diperolehnya tanpa melalui wasiat. Hal seperti ini tidak membuat pewasiat berdosa.
Bila yang diwasiatkan berupa barang dalam jumlah yang sebanding dengan bagian ahli waris, misalnya seseorang meninggalkan dua anak laki-laki, seorang budak, dan sebuah rumah, sedangkan harga budak dan harga rumah sama, lalu dia mengkhususkan masing-masing dengan satu bagian, maka wasiatnya sah jika keduanya menyetujui hal tersebut.
Seandainya seseorang mewasiatkan sesuatu untuk kaum fakir miskin, maka pemegang wasiat tidak boleh memberikan sesuatu pun darinya kepada ahli waris mayat yang berwasiat, sekalipun mereka adalah orang-orang yang miskin pula. Dmeikianlah yang di nash-kan oleh Imam Syafi’i di dalam kitab Al-Umm.
Sesungguhnya wasiat dinyatakan sah melalui kalimat, “Berikanlah kepadanya sekian,” sekalipun orang yang bersangkutan tidak mengatakan, “Dari sebagaian hartaku,” atau “Aku hibahkan kepadanya barang ini,” atau “Aku jadikan barang ini buatnya,” atau “Barang ini buat dia sesudah aku mati.” Keempat contoh ini dinyatakan sah karena masing-masing contoh dikaitkan dengan kematian yang menyebabkan masalahnya diartikan sebagai wasiat.
Wasiat sah pula dengan lafaz, “Aku wasiatkan buatnya sekian,” sekalipun dia tiak mengatakan, “Sesudah aku mati,” karena lafaz tersebut (wasiat) telah diakui oleh syariat untuk menunjukkan makna wasiat.
Seandainya seseorang hanya mengatakan kalimat seperti, “Aku hibahkan kepadanya,” maka hal itu merupakan hibah yang harus segera ditunaikan; atau dengan kalimat seperti, “Berikanlah oleh kalian sebagai dari hartaku buatnya,” atau “Berikanlah oleh kalian si fulan sebagian dari hartaku buatnya,” atau “Berikanlah oleh kalian si Fulan sejumlah sekian dari hartaku,” maka hal ini dinamakan wakalah yang terhapus dengan sendirinya jika orang yang bersangkutan meninggal dunia; dan hal ini bukan termasuk kinayah wasiat.
Atau hanya mengatakan, “Aku jadikan barang ini buatnya,” maka kalimat ini dapat diinterpretasikan sebagai wasiat dan hibah jika niatnya dapat diketahui bahwa hal ini dinyatakan untuk salah satu dari keduanya (wasiat atau hibah0. Tetapi jika niatnya tidak diketahui, maka hukumnya batal.
Atau hanya dikatakan, Sepertiga hartaku buat fakir miskin,” maka tidak dianggap sebagai ikrar dan tidak pula wasiat. Menurut suatu pendapat, hal tersebut dianggap sebagai wasiat buat kaum fakir miskin.
Ada ulama yang mengatakan bahwa kasusu seperti ini jelas menunjukkan makna wasiat kinayah.
Bila diucapkan dengan kalimat, “Barang ini miliknya,” maka dianggap sebagai pengakuan (ikrar). Jika dia menambahkan dengan kata-kata, “Dari sebagian hartaku,” maka dinamakan wasiat kinayah.
Segolongan ulama muta-akhkhirin menjelaskan bahwa dianggap sah ucapan seseorang kepada pengutangnya, “Jika aku mati, berikanlah piutangku yang ada padamu kepada si Fulan,” atau “Bagi-bagikanlah piutangku itu kepada kaum fakir miskin.” Ucapan pengutang dalam sanggahannya mengenai hal tersebut tidak dapat diterima, melainkan dia harus mengemukakan bukti yang menguatkan pihaknya.