Liyunfiq dzuu sa’atin min sa’atihi, harus menafkahkan orang yang kaya dari kekayaannya. Nah ini isyarat bagi orang-orang yang sudah wusul ke Allah.
Wa man qudiro ‘alaehi rizquhu, harus menafkahkan orang yang disulitkan rizkinya. Ini isyarat bagi orang yang sedang berjalan menuju Allah.
Penjelasan : disini dijelaskan tingkahnya waasiiliin dan saairiin ilallah, yang diisyaratkan oleh 2 ayat diatas.
Orang-orang yang sudah sampai kepada Allah, dengan adanya sudah lulus arwah-arwahnya dari kesulitan ‘alam dunia, sehingga sampai ke lapangan musahadah dan bertauhid, maka akan dimudahkan oleh Allah datangnya rizki macam-macam ilmu serta dibukakan macam-macam gudangnya pemahaman. Maka bisa mengeluarkan dari kemudahan/kekayaan ilmu dan pemahaman terhadap rahasia-rahasia yang disamakan dengan intan berlian.
Sehingga kaya (mudah) dalam lapangan pergerakannya, serta ucapannya tetap dalam kebaikan (ucapan bilaghoh), dan ucapannya berisi nasihat, seperti orang yang mendapat karunia diwaris kekayaan. Maka dengan kekayaannya ada di lapangan ketenangan serta bisa menafkahkan hal-hal yang utama.
Sedangkan orang yang saairuuna ilallaah, dengan adanya masih tetap di kesulitan ‘alam dunia, maka ditawan di bayangan yang disamakan dengan penjara.
Maka belum terbuka bagi orang ini (saairiin) satu faham dari gudangnya ‘ilmu. Masih sibuk memerangi hawa nafsunya dan membersihkan hatinya. Maka ‘ilmunya masih dipersulit dan pemahamannya masih sedikit. Apabila benar-benar (sungguh-sungguh) dalam perjalanannya, maka akan sampai dan akan pindah dari kesulitan ‘alam dunia, dan akan berbahagia di taman macam-macam ilmu dan akan berhasil setiap hal yang dicita -citakan.
Tetapi kalau gegabah dalam perjalanannya dan balik lagi ke asal maka akan rugi. Kalau kita bermaksud ingin dimudahkan/dibukakan ilmu rasa dan ilmu jiwa, kita harus memutuskan terhadap adanya rizki, dan harus memperlihatkan kefakiran kita di hadapan Allah. Maka Allah akan meluberkan terhadap pemberiannya. Sesuai dengan firman Allah innamassodaqootu lilfuqorooi.
Diambil dari kitab Al Hikam karangan Assyeikh al Imam Ibni ‘Athoillah Assukandari (Hikmah ketiga puluh)