Disyaratkan (untuk talak yang jelas) menyebutkan maf’ul (subyek) bila lafaz yang dipakai seperti thallaqtu (aku ceraikan), dan juga menyebutkan mubtada dalam kalimat seperti thaaliqun (wanita yang terceraikan).
Untuk contoh yang pertama ialah thallaqtu zaujati (aku ceraikan istriku), dan untuk contoh yang kedua ialah anti thaaliqun (engkau adalah istri yang terceraikan).
Seandainya seseorang hanya menyebutkan salah satunya saja, sedangkan yang lainnya hanya dia niatkan dalam hati saja, maka tidak ada pengaruhnya, yakni thalaqnya tidak jadi. Umpamanya seseorang hanya mengatakan thaaliqun (wanita yang terceraikan), sedangkan dalam hatinya ia berniat anti (engkau). Atau ia mengatakan imra-atii (istriku) sedangkan dalam hatinya ia berniat thaaliqun (wanita yang terceraikan).
Kecuali bila pada konteks sebelumnya nama si istri telah disebut dalam suatu pembicaraan ditujukan kepada si suami, seperti, “Talaklah istrimu!”, lalu si suami menjawab, “Aku talak,” tanpa menyebut maf’ul (subyek)nya. Atau si suami menyerahkan hal tersebut kepada si istri, umpamanya, “Ceraikanlah dirimu!”, lalu si istri menjawab, “Aku ceraikan,” sekalipun tanpa menyebutkan “diriku”. Maka dalam kedua kasus di atas talak terjatuhkan (jadi).
Talak yang diucapkan dengan bahasa terjemahannya
Demikian pula terjemahannya, yakni akar kata dari semua lafaz yang telah disebutkan dengan bahasa ‘Ajam. Terjemah lafaz talak merupakan talak yang sharih (jelas) menurut mazhab Imam Syafii, dan juga terjemahan bahasa ‘Ajam dari kedua lafaz berikutnya, yakni faraqa dan saraha, dianggap sebagai talak sharih pula menurut pendapat yang dapat dipegang. Dan Al Adzru’i telah menukil dari sejumlah ulama yang mengukuhkan pendapat tersebut.
Termasuk ke dalam pengertian talak yang sharih ialah kalimat “Aku berikan” atau “Aku katakan perceraianmu”, atau “Aku jatuhkan” atau “Aku lemparkan” atau “Aku campakkan kepadamu talak,” atau “talakku”. Dan termasuk pula kata “Hai wanita yang tertalak” dan “Hai wanita yang di talak.”
Akan tetapi, kalimat berikut tidak termasuk ke dalam pengertian talak sharih, yaitu: “Engkau adalah talak”, “Untukmu talak”, melainkan keduanya adalah talak secara kinayah (sindiran, yakni tidak jadi kecuali bila dibarengi niat pelakunya). Perihalnya sama dengan ucapan, “Jika engkau melakukan demikian, maka di situlah talakmu,” atau, “Maka itulah talakmu.”
Bukan menjadi masalah adanya kekeliruan dalam mengucapkan lafaz jika makna tidak cacat karenanya, seperti kekeliruan dalam i’rab.
Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani