Syarat-syarat bersuci dengan batu (Istinja’)

Setelah melakukan buang air kecil (kencing) ataupun buang air besar, maka kita diwajibkan untuk bersuci (membersihkan diri). Untuk membersihkannya, diutamakan memakai air, tetapi apabila dalam keadaan darurat atau tidak ada air, maka kita boleh bersuci dengan menggunakan batu.

Syarat bersuci dengan batu itu ada 8, yaitu:

  1. Dengan tiga buah batu, berdasarkan hadis: dari Siti Aisyah bahwa Rasulullah bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu pergi ke tempat qodzoil hajat (WC) hendaklah kamu pergi dengan membawa tiga buah batu untuk bersuci dengannya, karena sesungguhnya tiga buah batu itu sudah cukup.” Yang dimaksud 3 buah batu adalah tiga ulasan, sehingga sebuah batu yang mempunyai 3 sudut cukup untuk ber istinja. Juga dari Salma yang berkata, “Rasulullah melarang kami untuk bersuci kurang dari 3 batu.”
  2. Tempat najis harus bersih. Jadi bersih tempat najis itu merupakan syarat istinja.
  3. Najis jangan sampai sudah kering. Hal ini juga difahami dari menyusul syarat yang kedua yaitu harus bersih tempat najisnya, untuk itu disyaratkan najisnya tidak boleh sudah kering, sebab najis yang sudah kering tidak dapat dihilangkan dengan batu.
  4. Najis tidak boleh berpindah dari tempat keluarnya, artinya najis yang dibersihkan itu harus tetap pada posisi semula di mana najis itu sudah keluar dari mauridin nash (sasaran nash) yaitu najis yang keluar, jadi kalau sudah berpindah, maka hukum najis itu sama dengan najis yang lain.
  5. Najis yang keluar tidak bercampur dengan najis yang lain, karena najis yang kedua termasuk ajnabi.
  6. Najis tidak boleh melewati dua kemaluan (hasafah dan sohah), ini dijadikan batas tempat najis yang berada di tempat biasa keluarnya najis, dan najis yang ada di luar tempat yang biasa. Menurut pendapat sebagian besar ulama bahwa najis yang berada di di dalam tempat yang biasa, dapat dihilangkan dengan batu karena tempat yang biasa termasuk yang dimaksud dengan nash sekalipun pada dasarnya yang dimaksud oleh nash hadis adalah dzat yang keluar karena sukar untuk menjaga tempat keluarnya najis dari najis. Najis yang berada di luar tempat keluarnya, boleh dihilangkan dengan batu asal tidak melebar dari shofhah dan hasafah, berdasrkan hadis Imam Syafii, “Sesungguhnya para sahabat Muhajirin mereka makan kurma ketika mereka hijrah, dan makan kurma seperti itu bukan kebiasaan mereka sehingga mereka sakit perut, sedang mereka tidak diperintah untuk bersuci dengan air.” Serta berdasarkan pendapat Syeikh Abu Ishaq As Sairiji: karena yang keluar dari tempat yang biasa tidak mungkin dapat dibatasi oleh karena itu bathin (shafah) tidak mungkin dijadikan batas, oleh karena itu wajib bersuci dengan air apabila ada najis yang melewati bathin.
  7. Najis tidak boleh terkena air atau benda cair lainnya, karena air telah jadi mutanajis yang disebabkan air tersebut sudah bertemu dengan tempat yang sudah terkena najis.
  8. Batu yang dipakai istinja harus suci. Hal ini berdasarkan hadis dari Abdillah bin Masud, ia berkata, “Nabi saw datang ke tempat buang air besar, beliau menyuruh kepadaku untuk membawa tiga buah batu, dan saya menemukan dua buah batu dan saya mencari yang ketiga tetapi saya tidak mendapatkan, kemudian saya membawa kotoran binatang dan memberikannya kepada beliau, kemudian Nabi melemparkan kotoran binatang itu, dan dia berkata, ‘ini adalah najis’.” Juga hadis Darul Qutni, “Nabi melarang seseorang beristinja dengan tulang atau kotorang binatang dan beliau berkata, ‘kedua-duanya tidak dapat mensucikan’.”
Scroll to Top