Perhiasan yang dibelikan suami untuk istrinya bukan milik istrinya

Di dalam syarah kitab Al Minhaj, disebutkan bahwa seandainya seseorang membeli suatu perhiasan atau kain sutera buat istri sebagai perhiasan, maka barang-barang tersebut bukan berarti langsung menjadi milik istri.

Suami istri berselisih tentang hadiah

Seandainya pihak istri dan pihak suami berselisih pendapat mengenai masalah hadiah dan barang pinjaman, maka yang dibenarkan adalah pihak suami, dan disamakan dengan si suami ahli waris si suami.

Ijab kabul menentukan status pemberian

Seandainya seorang lelaki melengkapi anak perempuannya dengan seperangkat perhiasan, maka anak perempuannya itu tidak memilikinya kecuali dengan ijab dan kabul. Sedangkan pendapat yang didengar adalah pendapat lelaki yang bersangkutan, bahwa dia menyerahkannya tidak untuk dimiliki oleh anak perempuannya.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang diberikan oleh suami sebagai penghibur hati si istri atau sebagai hadiah di pagi hari malam pengantinnya, seperti yang biasa dilakukan di sebagian kawasan tertentu, hal tersebut masih belum menjadi milik si penerima kecuali dengan lafaz kabul, atau pihak suami berniat menghadiahkannya. Lain halnya dengan pendapat yang bersumber dari fatwa Al Hanathi.

Fatwa yang bukan hanya dari seorang ulama, menyatakan bahwa seandainya seorang suami (sebelum melakukan dukhlah atau persetubuhan) memberikan kepada istrinya sejumlah uang untuk keperluan walimah, dan juga maskawin serta hadiah pengantin, kemudian pihak istri nusyuz (membangkang), maka pihak suami boleh mencabut kembali semuanya. Ini tidak benar.

Dikatakan demikian karena persyaratan nusyuz untuk mencabut kembali semua pemberian suami tidak berlaku hadiah pengantin di pagi hari, berdasarkan apa yang telah kami tetapkan mengenainya, bahkan pemberian tersebut sama dengan shulhah (pemberian untuk menghibur hati istri). Karena jika pihak suami mengatakannya sebagai hadiah atau berniat dalam hatinya sebagai hadiah, maka secara otomatis pihak istri dapat memilikinya, bukan karena dia sebagai istrinya. Tetapi jika pihak suami tidak mengucapkan kata-kata sebagai hadiah atau tidak pula berniat menghadiahkannya, berarti barang tersebut masih miliknya.

 

Sumber: Kitab Fat-hul Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari al Fannani

Scroll to Top